Rabu, 02 Mei 2012

Terjangan Hallyu (Korean Wave) di Indonesia




TERJANGAN HALLYU (KOREAN WAVE) DI INDONESIA





BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Hubungan kerjasama  antara negara-negara berkembang dan negara-negara maju memang sedang digalakkan.  Satu sisi mereka mendapatkan keuntungan dari kerjasama tersebut, namun di sisi lain mereka harus berhadapan dengan beraneka ragam tantangan ideologi, politik, sosial dan budaya.  Kepercayaan, mentalitas, tradisi, dan tatanan sosial yang berbeda dalam kehidupan antar bangsa adalah beberapa faktor yang ikut menetukan tingkat kedalaman tantangan ataupun konflik yang muncul.
Aneka konfrontasi maupun kerjaasama antar bangsa kerap dilakukan.  Kini, tantangan yang terbentang semakin berat, kerjasama dan saling pengertian antar negara menjadi masalah yang amat penting, apabila terjadi kesalahan atau kesalahpahaman persoalan ini dapat menimbulkan pertikaian.
Tak terkecuali dengan Indonesia, Indonesia juga melakukan hubungan kerjasama baik dengan negara-negara lain di Asia maupun dengan dunia Barat.  Hubungan kerjasama dengan dunia Barat memang telah terjalin sejak lama dan di berbagai bidang, antara lain sosial, politik, ekonomi, budaya, pertahanan, dan keamanan tak terkecuali di bidang pendidikan.
 
Tak perlu dielakkan lagi, peradaban modern berakar dalam sistem pendidikan tinggi, dalam hal ini Barat adalah yang terdepan.  Setiap tahun masyarakat Indonesia yang menimba ilmu ke negeri Barat, jumlahnya semakin lama semakin bertambah. Tentu saja hal ini secara kontradiktif, sistem ini bisa menjadi sumber konflik kultural dalam realitas masyarakat, karena di dalamnya sekaligus mewariskan jejak tradisi yang berlainan dari generasi Indonesia, yang tidak memiliki struktur sosial, budaya, dan tradisi yang sama dengan Barat.  
Namun, banyak dari kalangan ilmuwan yang tidak menyadari kenyataan ini bahwa mereka tidak hanya sekedar membawa pengetahuan, tetapi juga terbekali oleh budaya yang terkandung di dalam pengetahuan itu, (sedikit demi sedikit mereka terperangkap dalam konflik, antara dunia mereka sendiri dan tendensi-tendensi liberal Barat yang tersembunyi).  Oleh sebab itu, maka makalah ini akan membahas dan menunjukkan perbedaan antara Indonesia dengan dunia Barat, khususnya dalam konsep kebebasan akademi.


B.     Rumusan Masalah
1.         Apa yang dimaksud dengan hakekat kebebasan?
2.         Apa yang terjadi dengan kebebasan akademik dari era nusantara ke Indonesia?
3.         Bagaimana sejarah terciptanya kebebasan akademik di dunia Barat?
4.         Apa saja perbedaan Indonesia dengan dunia Barat di bidang kebebasan akademik?
5.         Apa saja pengaruh positif dan negatif dari kebebasan akademik?


C.    Tujuan
1.         Mengetahui definisi dan hal-hal yang berkaitan dengan hakekat kebebasan
2.         Mengetahui Apa yang terjadi dengan kebebasan akademik dari era nusantara ke Indonesia
3.         Mengetahui sejarah terciptanya kebebasan akademik di dunia Barat
4.         Mengetahui perbedaan Indonesia dengan dunia Barat di bidang kebebasan akademik
5.         Mengetahui pengaruh positif dan negatif dari kebebasan akademik





BAB II
PEMBAHASAN

A.      Hakekat Kebebasan
1.         Kebebasan dan Manusia
Kebebasan memiliki pengertian yang luas dan konsep yang berbeda-beda, antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain, dari pergantian masa ke masa berikutnya.  Pemahaman dan pengertian kebebasan dalam suatu masyarakat atau tahapan sejarah tertentu tidak mungkin sama dengan dan sebangun dengan masyarakat atau tahapan sejaran yang lain.
Konsep kebebasan dalam sejarahnya selalui mengalami suatu perubahan.  Kebebasan sering dikaitkan dengan sifat dan bentuk-bentuk kediktatoran ataupun anarki yang telah menelan banyak korban seperti yang telah kita ketahui melalui catatan-catatan sejarah pada masa lampau.  Rudolf Steiner menyumbangkan filsafat kebebasan, gagasannya yaitu:
Pertama, Rudolf menunjuk adanya dua realita: yaitu manusia dan di luar manusia. Manusia dilengkapi kemampuan yang disebut sensory perceptions  untuk mengakses realita di luar dirinya yang beragam (alam, tumbuhan, binatang, orang lain). Namun persepsi yang tersensor ini  juga dipengaruhi oleh tujuh instansi/level motives yaitu: reflexes, drives, desires, motifs, wishes, intentions, and commitments
Dengan kombinasi berbagai level itu, manusia memproduksi berbagai persepsi yang tersensor untuk memaknai dunia luar dan dirinya, (consciousness).   Karena tersensor, persepsi itu menghasilkan sebuah dunia pemahaman yang penuh kontradiksi, dualitas, polarisasi.
Pada titik itu, hebatnya manusia, muncul fenomena kehendak bebas, yaitu kemampuan dalam diri manusia untuk membuat pilihan-piliahan dan lalu menciptakan sintesa kreatif atas persepsi yang berbeda-beda.  Oleh Rudolf kemampuan itu disebut kehendak bebas (free-will).
Dengan kata lain, kehendak bebas hanya muncul dalam kontradiksi-kontradiksi. Tanpa kontradiksi tidak ada wilayah untuk melakukan eksplorasi kebebasan. Sintesa berbagai persepsi yang berasal dari kebebasan itu diperlukan agar manusia tidak terpecah belah jati dirinya. Sintesa persepsi itu disebut moral imagination, sebuah rangkaian keputusan atau pilihan yang betul-betul personal atau subyektif.  
Dalam pengertian itu, otoritas moral tidak lagi berada pada masyarakat, keluarga atau sebuah teks suci, tetapi dalam hati sanubari seorang individu. Segala petunjuk, perintah, guidance dari otoritas di luar diri manusia, seolah menjadi sumbangan saja, dan diri manusia sendirilah yang mengambil keputusan berlaku tidaknya bagi dirinya sendiri. 
Kedua, sampai di titik itu moral imagination merupakan hasil kerja yang seolah berada dalam hati dan budi individual. Selanjutnya Rudolf mengamati peran ego, yang mempunyai “kehendak untuk bertindak” dalam diri manusia untuk mempengaruhi dunia di luar dirinya, berpangkal dari imaginasi moral yang yang sudah dimilikinya. Ego yang hendak mengkomunikasikan dirinya itu disebutnya self-awareness
Dalam arti itu, muncul tindakan yang sungguh bebas, atau kebebasan. Kebebasan lalu berarti segala ragam tindakan yang diambil berdasarkan kehendak bebas yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan moral imagination seseorang. Maka kebebasan dalam arti itu dengan sendirinya selalu dan sama dengan kebebasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Yakni, dapat dipertanggungjawabkan dengan menggunakan perangkat moral imaginationnya.
Tetapi hendaknya kita berhati-hati menggunakan istilah “kebebasan yang bertanggungjawab” yang sering secara instinktif, diartikan sebagai tanggungjawab yang didasarkan pada otoritas di luar dirinya (peraturan, teks, ideologi, kepercayaan, nilai-nilai kelompok atau masyarakat atau suku dan sebagainya), karena istilah itu rawan manipulasi. 
Moral imangination dengan sendirinya akan mencapai bentuk yang tertinggi, manakala manusia dibantu dan mampu membebaskan diri dari instink naturalnya dan dari tekanan kelompok, dari prasangka-prasangka yang diwariskan oleh keluarga, suku, kelompok agamanya dan sebagainya.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa tindakan yang betul-betul bebas (self-awareness) hanya mungkin terjadi bila berpangkal dari sintesa persepsi yang disebut moral imagination.  Imaginasi moral ini merupakan konstruksi kreatif dari kontradiksi-kontradiksi yang di temui manusia ketika manusia mendapat kesempatan untuk meneliti motif-motif mana yang bekerja dan mempengaruhi dirinya. Kontradiksi-kontradiksi itu hanya muncul karena persepsi kita tersensor oleh berbagai motif, baik naluriah maupun warisan-warisan prasangka. (http://kangadhiblogspot.com/Refleksi- Filosofis- tentang Kebebasan-(sumbangan untuk Kang Ismail)/Desember 23, 2006.html.)


2.         Macam-macam kebebasan
Dewasa ini, mengkategorikan segala sesuatu memang mudah dan sering dilakukan, tak terkecuali dengan kebebasan.  Antara lain yaitu:  kebebasan berbicara dan berpendapat, kebebasan pers, kebebasan beragam, kebebasan akademi, kebebasan politik, kebebasan berpendapat, dan lain-lain.
Kebebasan berbicara dan berpendapat adalah hak semua orang atau kelompok untuk mengemukakan gagasan dan mengeluarkan pikiran baik lisan maupun tulisan ke khalayak umum.  Di Indonesia kebebasan ini diatur oleh UUD 1945, Pasal 28, bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang.  Lebih lanjut pengertian kemerdekaan mengemukakan pendapat dinyatakan dalam pasal 1 (1) UU No.9 Tahun 1998, bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Undang-undang yang mengatur kemerdekaan mengemukakan pendapat antara lain diatur dengan Undang-undang No.9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di Muka Umum. Pengertian di muka umum adalah di hadapan orang banyak atau oarang lain, termasuk tempat yang dapat didatangi dan/ atau dilihat setiap orang.  (http://cheperblogspot.com/Nurrachman-kebebasan-akademik/kemerdeka  -mengemukakan-pendapat.html)
Kebebasan pers diidentikkan pula dengan kemerdekaan informasi, atau dapat pula digambarkan sebagai kebebasan penerbitan tanpa adanya hambatan dan tanpa mempertimbangkan akibat-akibat hukumnya.  Kebebasan pers di Indonesia juga tampak dari diamandemenkannya Pasal 28 UUD 1945, serta adanya Kode Etik Jurnalistik (KEJ), Kode Etik Perusahaan Pers serta Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia.  
Kebebasan politik dapat dilukiskan sebagai hak individu dan kelompok untuk menentukan atau berpartisipasi dalam kancah politik.  Sedangkan kebebasan beragama dapat diartikan sebagai hak utnuk memluk suatu kepercayaan dan melakukan suatu peribadatan dengan bebas, tanpa perlu merasa khawatir. (Ahmed O. Altwajri, 1997:34)

3.         Kebebasan akademik
Kebebasan akademik tidak memiliki definisi universal.  Point dari kebebasan akademik adalah menyangkut masalah kebebasan seseorang yang terlibat dalam dunia akademi, yaitu para dosen, mahasiswa atau seluruh civitas akademi untuk mewujudkan kebebasan badan-badan dan lembaga-lembaga akademi.
Definisi kebebasan akademi menurut para pakarnya:
a.         Encyclopedia of Religion
…tidak ada pembatasan, hukuman dan intimidasi berkaitan dengan kegiatan tradisional insan akademi, terutama yang menyangkut studi dan penelitian-penelitian yang dilakukan, mengutarakan pandangan, hasil-hasil temuan dan opini yang diyakini, melalui lisan atau publikasi, betapapun dianggap usang ataupun bercorak subversif, bijaksana ataupun kolot.
b.        W.T. Couch
…prinsip yang dirancang untuk melindungi guru dari aneka bahaya (resiko) yang cenderung mencegah atau menghambat kewajiban-kewajiban yang ia pikul di tengah medan pencarian kebenaran.
c.         Islam
Kebebasan akademi sebagai hak perseorangan dan lembaga-lembaga yang ada untuk belajar, mengajar, mengadakan penelitian dan menyebarkan penemuan-penemuan serta kesimpulan-kesimpulan dengan cara lisan maupun tulisan dengan tetap terikat pada hukum dan moral yang ditetapkan oleh Syariah Islam atau hukum Allah.
d.        Menurut PP No. 60 Tahun 1999,
Kebebasan akadernik merupakan kebebasan yang dimiliki oleh anggota sivitas akademika untuk melaksanakan kegiatan yang terkait dengan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara bertanggungjawab dan mandiri.
e.         Arthur Lovejoy
Kebebasan akademik adalah kebebasan seseorang atau seorang peneliti di lembaga 11mu. pengetahuan untuk mengkaji persoalan serta mengutarakan kesimpulannya baik melalui penerbitan atau perkuliahan tanpa campur tangan dari penguasa politik atau keagamaan atau dan lembaga yang memperkerjakannya kecuali apabila metode yang digunakannya tidak memadai atau bertentangan dengan etika professional atau lembaga yang berwenang dalam bidang keilmuannya.
f.         Nymeyer (1956)
Kebebasan akademik adalah kebebasan anggota fakultas untuk mengajar pada suatu sekolah dengan pikirannya sendiri dan mempromosikan spekulasi dan kesimpulan yang dibuat secara independen atau. bebas dari apa yang mungkin institusi kehendaki. (http;//uripsantosoblogspot.com.//kebebasan-akademik/-konsep-dan-model-kebebasan-akademis-diperguruan-tinggi.html)

Kebebasan akademik ini mempunyai banyak manfaat anatara lain yaitu:
a.         Mempercepat transfer ipteks.
b.        Mempercepat pengembangan ipteks
c.         Membantu memecahkan problema di masyarakat (menjawab permasalahan masyarakat).
d.        Membantu masyarakat berpikir, memahami dan bertindak.
e.         Pada gilirannya mampu mendorong kearah kemajuan dan keseiahteraan masyarakat.
f.         Kebebasan akademik akan melahirkan masyarakat beradab dimana nilai nilai kemanusiaan mendapat tempat tertinggi, subyektivitas individu diakui, setiap individu menyadari tanggung jawabnya terhadap diri dan masyarakat, dengan hukum sebagai sumber aturannya dan kepentingan bersama adalah tujuannya.
g.        Hal ini akan mendorong atau mempercepat pelaksanaan demokrasi di masyarakat. Demokrasi mendambakan manusia manusia kritis, rasional,antiabsolutisme, yang mengharhai pluralitas individu dengan dialog sebagai jalan kompromi
h.        Menumbuh dewasakan kadar intelektual, emosional dan spiritual manusia.
i.          Menjaga nilai nilai masyarakat dan kebenaran universal.
j.          Menumbuh kembangkan kepeloporan dan keteladanan dari para cendekiawan dan calon cendekiawan, sehingga, erosi moral dapat diatasi.
k.        Menghasilkan para sarjana sebagai pencipta kerja bukan sebagai pencari kerja.
l.          Menumbuhkan perubahan dan pembaharuan yang sangat radikal di masyarakat.
m.      Sarana bagi pengembangan masyarakat yang berbasis ipteks. Oleh sebab itu, pembelajaran dan penclitian menjadi komponen penting dari pembangunan berkelanjutan dari kebudayaan, sosio ekonomi dan lingkungan dari orang seorang, komunitas dan bangsa. (http://www.BudiHermanablogspot.com//kebebasanakademik/Blog-Archive » Kebebasan Akademik dan Otonomi Keilmuan.htm)

Di Indonesia, peraturan dan perundangan mengenai kebebasan akademik tercantum di PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan,  PP Nomor 37 Tahun 2009 tentang Dosen, dan Peraturan Pemenintah Republik Indonesia No. 60 Tahun 1999 tentang Perguruan Tinggi pada Bab VI pasal 17 dan 20.


B.       Kebebasan Akademik Dari Era Nusantara Ke Indonesia
Kebebasan akademik di Indonesia sesungguhnya telah ada jauh hari semenjak jaman kerajaan, terbukti dari fakta sejarah, di masing-masing periode peradaban di nusantara telah banyak melahirkan ilmuwan, pujangga bahkan futurolog seperti Jaya Baya di masa kerajaan Airlangga atau pujanggga Ronggowarsita di jaman Kasunanan Surakarta. 
Di era kolonial pun dunia akademik relatif mendapat kebebasan yang proporsional selama tidak terkait dengan persoalan hegemoni kekuasaan pihak imperialis di nusantara.  Sebut saja praktek politik etis oleh kolonialisme Belanda bagi bumi putera di Hindia Belanda dengan memberikan beasiswa pendidikan bagi anak-anak bangsawan entah di Hindia Belanda sendiri atau menempuh pendidikan di Belanda.  Pada periode ini muncul para ilmuwan antara lain: Moh. Hatta, Douwes Dekker, Wahidin Sudirohusodo, Ki Hadjar Dewantara, dan Soekarno.
Semua ini menunjukkan kebebasan akademik telah ada di Nusantara jauh sebelum dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.  Pada periode kemerdekaan hingga jaman Orde Lama kebebasan akademik pun masih dinikmati oleh kalangan-kalangan yang concern dalam dunia pendidikan.  Di era ini, jarang terdengar terjadinya pembungkaman dalam dunia akademik.  Catatan kelam persoalan kebebasan akademik mulai dirasakan di puncak masa otorianisme Orde Baru. 
Memang, di era puncak otoriter Orde Baru banyak capaian gemilang sebagai prestasi rencana pembangunan lima tahun (Repelita) seperti swasembada pangan, pemerataan akses listrik, infrastruktur jalan, dan pertanian, stabilitas ekonomi dan sosial.  Namun, atas nama menjaga stabilitas politik, pertahanan dan keamanan membawa konsekuensi fatal dalam dunia akademik. 
Atas pertimbangan mengamankan ideologi Pancasila Pemerintah otoriter Orde Baru kerap kali membungkam kebebasan akademik, proses kontrol terhadap dunia akademik diterjemahkan dari level kurikulum hingga sistem pendidikan.  Pada konteks ini sebut saja dilaksanakannya ideologisasi Pancasila sejak pendidikan dasar dengan mata pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) hingga mata kuliah Pendidikan Pancasila di dunia Perguruan Tinggi serta dilaksanakannya penataran P4 dari level SMP hingga Perguruan Tinggi. 
Di luar kampus, pembungkaman terhadap dunia akademik gencar dilakukan Orde Baru antara lain dilakukan pencekalan dan pembubaran setiap forum ilmiah yang dianggap membahayakan eksistensi kekuasaan Orde Baru, seperti di bubarkannya seminar, diskusi, bahkan pembredelan terhadap media massa cetak yang kritis dan pelarangan buku yang berhaluan kiri, seperti buku-buku Pramudia Anantha Tur, Karl Marx dan sebagainya.
Seiring dinamika sosial politik di Indonesia maka berubah pula situasi kebebasan akademik.  Tumbangnya rezim Orde Baru dan munculnya rezim baru telah membuka kembali kebebasan akademik di Indonesia antara lain bebasnya kalangan akademis dan ilmuwan mengekspresikan ide keilmuwan sekalipun bertentangan dengan etika sosial.  Demikian juga kebebasan akademik di luar kampus, didapatkan dengan mudahnya seperti bermunculan media massa cetak dan elektronik, dunia LSM bergerak dengan mudahnya, forum-forum ilmiah seperti seminar dan diskusi, workshop dan pelatihan, dilaksanakan tidak harus mengajukan izin ke kepolisian atau Ditsospol. 


C.      Sejarah Terciptanya Kebebasan Akademik Di Barat
Berikut ini sejarah singkat terciptanya kebebasan akademik di Barat dari masa ke masa:
a.         Yunani
Peradaban Yunani telah mewariskan peradabannya ke Barat, sehingga memunculkan beraneka ragam konsep filsafat, terutama konsep kebebasan.  Di masa-masa puncak peradapan Yunani, banyak tempat menjadi pusat kegiatan intelektual, diantaranya adalah Athena dan Ionia.  Ionia merupakan tempat kelahiran pemikiran bebas.  Sejarah ilmu pengetahuan dan filsafat Eropa bermula dari Ionia ini.  Hubungan antara peradaban Yunani dan peradaban Barat modern sangatlah erat. 
Peradaban Yunani memberikan warisan untuk peradaban Barat yaitu dua tradisi pada pemikiran Barat.  Pertama, yaitu kepercayaan terhadap kemampuan akal dan pemikiran dalam menjelaskan segenap gejala yang ada.  Kedua, yaitu pemisahan agama dari segenap ilmu pengetahuan,serta pemisahan agama dari lembaga-lembaga sosial dan politik.
b.        Abad Pertengahan
Abad pertengahan ini menunjukkan keterbelakangan dan penindasan aneka kebebasan, kebuasan dan teror keagamaan.  Pada masa ini, Gereja tumbuh kokoh dan mendominasi kehidupan Barat sampai sepuluh abad berikutnya.  Selain itu, hilangnya semangat toleransi pun terjadi, intoleransi itu tidak terbatas pada agama saja, tetapi juga pada sebagian besar aspek kegiatan pemikiran.  Pemberian hukuman yang keji dan ekstrim terhadap orang-orang yang dicurigai serta dituduh tidak sejalan dengan dogma Gereja adalah corak reputasi Abad Pertengahan yang mengerikan.  Hal ini menimbulkan dogma bagi Barat yaitu, apabila lahir suatu kemajuan atau perkembangan, maka gereja dan ilmu pengetahuan mesti dipisahkan.
c.         Renaissance dan Pencerahan
Renaissance bermula pada Abad ke 14, yang dilakukan secara hati-hati dan penuh waspada (tertutup), bukan dengan cara melakukan pemberontakan secara terbuka.  Renaissance merupakan suatu masa perkembangan keilmuan dan emansipasi pemikiran, minat dalam seluruh aspek kehidupan lambat laun menggantikan suasana sempit yang ditampilkan oleh gereja.  Renaissance mencapai puncaknya selama masa pencerahan.  Materialisme, rasionalisme dan empirisme mengukuhkan diri sebagai pengganti kekeuasaan ortodoks dan pemikiran pendeta, sementara akal meraih kembali kejayaannya.
Pengalaman Eropa selama perode-periode Renaissance dan Pencerahan menlahirkan asumsi-asumsi baru dalam benak Barat, yaitu;
1)        Kebebasan pemikiran dan kemajuan keilmuan tak akan tergayuh keccuali dengan menudukkan Gereja dan mencabut dominasi agama tradisional
2)        Penemuan-penemuan keilmuan berlawanan dengan beberapa pemikiran keagamaan
3)        Ilmu dan pengetahuan berjalan seiring dengan kebebasan
4)        Dalam beberapa segi, agama identik dengan totaliterisme dan pemenggalan terhadap aneka kebebasan
5)        Akal manusia tak berbatas dan sanggup menguak sebagian besar, jika tidak, semua gejala yang ada
Asumsi-asumsi itu juga mewariskan bekas-bekasnya yang gamblang sikap Barat terhadap agama dan peranannya dalam kehidupan. (Ahmed O. Altwajri, 1997:106)
d.        Era Industri dan Teknologi
Abad ke 19 dan 20 menjadi saksi meningkatnya kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan serta industri.  Perubahan-perubahan itu lahir karena beberapa faktor, yaitu:
1)        Aturan-aturan dan hubungan-hubungan sosial ekonomi baru yang tercipta karena industrialisasi masyarakat Barat.
2)        Kemajuan-kemajuan ilmu dan teknologi yang menjadi tantangan aneka kepercayaan dan kebiasaan tradisional
3)        Pengenalan teori-teori pemikiran dan sosial yang menantang seperti Darwinisme, Marxisme dan Freudianisme
4)        Perkembangan nasionalisme dan gerakan-gerakan emansipasi.
Faktor-faktor ini juga ikut mempercepat perkembangan kebebasan akademi di masyarakat Barat.  Pada era ini kebebasan akademi mempunyai tanggung jawab yang lebih besar dan merupakan persoalan utama dalam pendidikan tinggi.


D.      Perbedaan Indonesia dengan Barat di Bidang Kebebasan Akademik
Meskipun secara praksis kebebasan akademik di Indonesia dan di Barat mengalami kesamaan yakni sama-sama memberikan apresiasi kebebasan ide, gagasan, dan imajinasi namun secara substansi ada beberapa perbedaan yang didasari dengan epistimologi yang melatarbelakangi dunia akademik antara di Barat dan di Indonesia, sebagai contoh:  Bila Indonesia dikategorikan sebagai peradaban Timur yang didalamnya salah satunya ada unsur dunia Islam, maka di sini jelas ada perbedaan sebagaimana disetir oleh Ahmed O. Alwajri: Pertama, Sejarah perkembangan kebebasan akademi di Barat merangkum berbagai episode perjuangan antara ilmu pengetahuan (yang melukiskan ambisi akal dan intelektual) dengan Gereje (yang menggambarkan dominasi agama dan otoritas Tuhan).  Gerakan-gerakan reformasi dan kebebasan tampil untuk menantang dogmatisme Gereja dan tendensi-tendensi supresifnya.  Gerakan-gerakan itu juga menetang keras pemerintah-pemerintah lalim dan totaliter.  Dalam berbagai sektor masyarakat, di Barat, agama tersuruk ke dalam dogmatisme dan penindasan kebebasan.  Dilain pihak, sejarah Islam menunjukkan pengalaman yang sama sekali berbeda dengan pengalaman Barat.  Dalam Islam tidak terdapat pertikaian antara agama dan ilmu pengetahuan, bahkan sebaliknya, Islam menjadi sumber motivasi penelitian intelektual dan penyelidikan keilmuan.  Berbagai pergolakan dan gerakan-gerakan keebasan dalam dunia Islam tidak diarahkan untuk melawan “dogmatisme” dan “tirani” lembaga agama seperti yang terjadi di Eropa pada abad ke 17.  Pergolakan-pergolakan dan gerakan kebebasan tersebut justru seringkali dipimpin oleh sarjana-sarjana agama serta diilhami oleh agama untuk memapankan kembali peran agama itu sendiri.   Oleh karena itu, agama adalah dan masih sangat berkait erat dengan kebanyakan sektor masyarakat Islam untuk bersama-sama menggapai kemajuan dan kebebasan akademik (pemikiran). 
Kedua,  konsep agama dalam liberalisme sekuler sangat berlainan dengan Islam.  Di Barat, agama lebih dipandang sebagai sesuatu yang terbatas, berada dalam lingkup perseorangan dan sangat pribadi.  Peran agama dalam merumuskan tata sosial, politik dan ekonomi masyarakat pun sangat dibatasi.  Sementara itu, dalam Islam, agama merupakan suatu elan kegiatan (individu dan sosial).  Agama merupakan suatu upaya rohani, ideologi yang secara langsung mengatur segenap kegiatan manusia, termasuk sisi pribadi, sosial, politik dan ekonomi.  Ketiga, sekuliresme masyarakat Barat modern menampilkan wajah yang berbeda dengan masyarakat Islam.  Perbedaan pokoknya terletak pada sifat dan kawasan hukum yang digunakan.  Di Barat, asas hukum yang dipakai didasarkan pada utilitarianisme yang berbasis pada otoritas masyarakat, sedangkan dalam Islam, asas hukumnya bersifat mutlak, karena didasarkan atas otoritas yang berasal dari Tuhan.  Kenyataan itu melahirkan perbedaan yang beragam di samping mempengaruhi hukum dan sifat interaksi manusia.  
Keempat, liberalisme sekuler memupuk peningkatan kekuatan, status dan otoritas akal  manusia.  Pandangannya bersifat antroposentris.  Otoritas tradisional digantikan oleh akal dan ilmu pengetahuan.  Hal ini berbeda dengan filsafat Islam yang melihat manusia sebagai khalifah Allah di bumi, yang menegakkan hukum Allah di atas keputusan manusia dan tidak pernah memisahkan ilmu pengetahuan dari teologi.  Kelima, berdasarkan perbedaan-perbedaan dalam filsafat dan sejarah, maka konsepsi etika dan moralitas antara Islam dan liberalisme Barat menjadi sangat berbeda.  Islam mengaitkan moralitas dengan agama dan mengajarkan bahwa nilai-nilai moral berasal dari wahyu Allah.  Sedang liberalisme sekuler Barat menganggap bahwa moralitas merupakan suatu isu utilitarian yang otoritasnya berasal dari akal, pengetahuan empiris dan aneka proses politik yang demokratis. (Ahmed O. Altwajri, 1997:135)
   Hal yang sama juga terjadi di dunia akademik di Indonesia, yang berbeda dengan akademik dunia Barat.  Indonesia meletakkan norma dan etika sebagai landasan epistimologi keilmuan, sekalipun secara logis sebuah ilmu menghasilkan nilai-nilai positif tetapi manakala bertentangan dengan norma dan etika yang hidup dalam nurani kebangsaan maka, dialektika keilmuan tersebut mendapat pertentangan dari masyarakat bahkan dapat menjadi kontra produktif bagi dinamisasi keilmuan di dunia kampus. Contoh yang tepat dalam hal ini adalah ketika maenstream pluralisme dan liberalisme menjadi acuan dalam kehidupan bertoleransi di Indonesia namun fakta sosial membuktikkan gerakannya ini banyak mendapat protes dari masyarakat luas. 
Peristiwa penolakan terhadap Jaringan Islam liberal (JIL) oleh mayoritas umat Islam di sini, menunjukkan adanya perbedaan filosofi terhadap sebuah nilai, satu sisi mengacu kepada kebebasan akademik sisi lain mengacu kepada moralitas yang dianut oleh mayoritas.
Berbagai konsekuensi budaya  yang lahir dari perbedaan-perbedaan filsafat ini demikian besar, dan sangat mempengaruhi konsepsi tentang kebebasan akademi.  Aspek-aspek perbedaan budaya ini terlihat dalam berbagai persoalan.  Misalnya, bagaimana seksualitas pranikah dalam budaya Barat tidak ditolak, paling tidak ditolerir keberadaannya.  Bahkan, seksualitas pranikah semacam ini merupakan suatu arena bahasan dan konsulatasi dalam berbagai lembaga pendidikan Barat.  Dilain pihak, Indonesia sangat melarang hubungan seks sebelum nikah dan menganggapnya sebagai suatu perilaku yang amat tidak bermoral. Oleh karena itu, hubungan seks sebelum nikah tidak dapat dijadikan ajang pembahasan atau pemikiran dalam universitas di Indonesia.
Demikian pula, bila suatu universitas Barat membenarkan seseorang untuk bertelanjang di depan kelas demi kepentingan pengenalan suatu pelajaran seni (pahat atau patung), agar secara fisiologis para mahasiswa dapat mengetahui badan manusia secara inderawi dan utuh, hal semacam in tidak dapat dibenarkan dan tidak akan memperoleh perlindungan kebebasan akademi di Indonesia. (Ahmed O. Altwajri, 1997:138)


E.       Kebebasan Akademik Pengaruh Positif dan Negatif
Harus diakui kebebasan akademik di dunia Barat telah membawa pencerahan bagi peradaban manusia sebut saja era Helenialisme di Yunani yang melahirkan generasi semacam Plato, Aristoteles, Galileo dan sebagainya demikian juga pencerahan terjadi di era Renaissance dan Aufklarung, yang melahirkan para ilmuwan di Frankfurt yang kesemuanya membawa pencerahan bagi peradaban manusia dan memudahkan manusia mengakses ilmu pengetahuan dan teknologi yang muaranya telah memajukan peradaban di jagad raya. 
Sebenarnya kemajuan akademik juga terjadi di dunia Timur namun tidak sedahsyat di dunia Barat seperti restorasi Meiji di Jepang, sebagai terobosan termodern bagi kekaisaran Jepang.  Hal yang sama juga terjadi di Turki sebagai negara Islam yang melakukan sekularisasi negara yang dipelopori oleh Kemal Fasha yang kemudian berubah menjadi Kemal Arthatur.  Sesungguhnya kebebasan akademik yang membawa dampak positif juga terjadi di dunia Islam khususnya di Iran, melalui revolusi Raushan Fikr (pencerahan akademis) yang dimotori di kota Qum telah membawa negara Iran mengalami pencerahan seperti di era Persia, saat ini yang mengagumkan bagi negara Iran adalah kemandirian secara teknologi dan ekonomi.
Sisi lain dari kebebasan akademik di dunia Barat juga berimplikasi negatif manakala dunia Timur tidak mampu mengambil saripati semangat kebebasan akademik di Barat yang hanya menelan mentah-mentah maka yang terjadi adalah sekulerisasi di dunia Timur.
Refleksi atas perbedaan konsepsi filosofis bagi mereka yang mengambil nilai-nilai Barat yang berujung kepada terbuai dengan budaya, filsafat, dan cara berpikir Barat justru memperoleh pengalaman yang tidak berdaya, pada titik ini mereka yang terpengaruh pada dunia Barat sangat mudah untuk diinfiltrasi. 
Ketidaksukaan mereka terhadap latar belakang keilmuan masyarakat yang dulu disinggahinya, kekaguman mereka yang berlebihan terhadap kemajuan Barat serta kebodohan mereka tentang bahasa, baik secara linguistik maupun kultural, merupakan unsur-unsur yang memudahkan mereka untuk terseret pada sekulerisasi dan asimilasi budaya Barat.
Sesungguhnya, universitas-universitas, professor-professor dan masyarakat Barat secara berbarengan merupakan “orang-orang lain” yang sangat berkuasa atas mahasiswa-mahasiswa Indonesia itu.  Perangkat-perangkat tersebut juga menggiring mereka untuk mengadopsi sikap terhadap budaya baru tanpa disertai daya kritis yang dimiliki.  Lambat laun konsep-konsep dan nilai-nilai Barat itu meninggalkan relativitas kontekstual dan menggantikan kepercayaan yang dulu dianutnya.   Apabila proses ini berjalan tanpa kendali, sementara para mahasiswa itu kembali ke negara Indonesia, maka pasti akan terjadi konflik antara mereka dengan lingkungannya sendiri.
Oleh karenanya, adalah suatu kebutuhan bagi seluruh mahasiswa Indonesia yang belajar pada Barat untuk tidak buta budaya, baik budaya mereka sendiri ataupun budaya yang diperkenalkan pada mereka. (Ahmed O. Altwajri, 1997:139)





























BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Kebebasan akademik merupakan substansi dari karakter ilmu pengetahuan itu sendiri, oleh karena itu kebebasan akademik merupakan aspek utama tumbuh dan berkembangnya ilmu pengetahuan.  Pada hakikatnya, tidak ada pertentangan akademis antara dunia Barat dan dunia Timur, sebab fakta sejarah telah menunjukkan dengan kebebasan akademik dunia Barat dan  dunia Timur telah mengalami pencerahan dan atas pencerahan ini pula ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi kemajuan peradapan manusia. 
Memang, ada perbedaan antara dunia Barat dan Timur, yakni pada kerangka filosofi norma dan moralitas namun pada sisi obyektivitas keilmuan keduanya sama-sama mengedepankan rasionalitas.  Oleh karena ada titik perbedaan pada moralitas dan etika maka kebebasan akademik dunia barat tidak serta merta bisa diintrodusir ke dunia akademik Timur, pada titik inilah dampak negatif  dari penyaduran kebebasan akademik Barat oleh akademisi Timur.

B.       Saran
1.      Kebebasan akademik harus tetap menjadi acuan utama bagi dunia akademisi entah secara individual maupun institusional guna memberikan apresiasi seluas-luasnya bagi berkembangnya dialektika berbagai macam ilmu
2.      Sebagai ilmuwan yang berbasis kepada nilai ketimuran hendaknya memfilter  aspek-aspek nilai akademik dari Barat sebagai antisipasi terjadinya kontradiksi dilingkup sosial yang terkait dengan aktualisasi ilmu pengetahuan di masyarakat Indonesia

Daftar Pustaka


Ahmed O. Altwajri. (1997). Islam, Barat dan Kebebasan akademis. Yogyakarta: Titian Ilahi



 (http://kangadhiblogspot.com/Refleksi- Filosofis- tentang Kebebasan-(sumbangan untuk Kang Ismail)/Desember 23, 2006.html.)

 

(http;//uripsantosoblogspot.com.//kebebasan-akademik/-konsep-dan-model-kebebasan-akademis-diperguruan-tinggi.html

 

(http://www.BudiHermanablogspot.com//kebebasanakademik/Blog-Archive Kebebasan Akademik dan Otonomi Keilmuan.htm)






Tidak ada komentar:

Posting Komentar