Rabu, 25 April 2012

Peran Oil Boom Bagi Kehidupan Perekonomian Indonesia



PERAN OIL BOOM BAGI
KEHIDUPAN PEREKONOMIAN INDONESIA



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Minyak dan fluktuasi harganya memberikan pengaruh yang sangat vital pada hampir semua aktivitas makroekonomi, karena minyak merupakan salah satu energi utama yang digunakan baik langsung maupun tidak langsung dalam memproduksi barang dan jasa. Minyak menjadi sumber energi teratas penggunaanya untuk menopang proses produksi dibandingkan dengan sumber energi lainnya, sehingga fluktuasi harga minyak sangat sensitif dengan kondisi perekonomian atau pertumbuhan ekonomi di setiap negara. Dan tidak ada satu negarapun yang tidak tergantung pada minyak dan mampu secara serta merta menurunkan komsumsinya akibat kenaikan harga tak terkecuali Indonesia.
Dalam hal ini, mau tidak mau Pemerintah mengambil peran yang sangat penting.  Peran atau campur tangan pemerintah dalam perekonomian aday bersifat kuat (negara sosialis), ada yang lemah (negara kapitalis).  Indonesia menganut sistem ekonomi campuran dengan mengutamakan berlangsungnya mekanisme pasar sepanjang tidak merugikan kepentingan rakyat banyak. Sedangkan tujuan utama atau akhir kebijakan ekonomi yang dibuat oleh pemerintah adalah untuk meningkatkan taraf hidup atau tingkat kesejahteraan masyarakat.
Sejarah perekonomian Indonesia pada masa ekonomi Pancasila atau Orde Baru yaitu pada tahun 1966-1998 antara lain yaitu masa stabilisasi dan rehabilitasi (1966-1968), masa pembangunan ekonomi (1969) yang didalam nya terdapat masa Oil Boom (1973/1974).  Masa Oil Boom tersebut telah memberikan banyak pengaruh pada perekonomian serta pertumbuhan negara Indonesia. Makalah ini akan menjelaskan lebih lanjut dan membahas secara mendalam mengenai peranan baik dan buruk masa Oil Boom terhadap negara Indonesia.


B.     Rumusan Masalah
1.    Apa yang dimaksud dengan Oil Boom?
2.    Apa yang terjadi saat Oil Boom?
3.    Apa pengaruh positif Oil Boom terhadap perekonomian Indonesia?
4.    Apa pengaruh negatif Oil Boom terhadap perekonomian Indonesia?


C.    Tujuan
1.    Mengetahui definisi Mengetahui  manfaat dari teori motivasi
2.    Memahami apa yang terjadi saat Oil Boom
3.    Mengetahui pengaruh positif Oil Boom terhadap perekonomian Indonesia
4.    Mengetahui pengaruh negatif Oil Boom terhadap perekonomian Indonesia



















BAB II
PEMBAHASAN

A.      Definisi Oil Boom
Melonjaknya harga minyak yang disebabkan oleh peperangan Timur Tengah dengan Israel sehingga menimbulkan kekacauan politik dan tindakan boikot dari OPEC (Organization of the Petroleum Exporting Countries) atau  Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak Bumi, organisasi yang bertujuan menegosiasikan masalah-masalah mengenai produksi, harga dan hak konsesi minyak bumi dengan perusahaan-perusahaan minyak. 

B.       Sejarah Yang Berkaitan Dengan Oil Boom
Oil Boom terjadi sebanyak dua kali.  Oil Boom pertama terjadi pada tahun 1973/1974, harga minyak di pasar dunia melonjak dari US$1.67/ barrel (1970 menjadi US$ 11.70/barrel (1973/1974).  Oil Boom kedua terjadi pada tahun (1979/1980). Harga minyak yang telah mencapai US$ 15.65/ barrel (1979) melonjak lagi menjadi US$ 29.50/ barrel (1980), terus melonjak US$ 35.00 (1981 – 1982).
Oil Boom terjadi pada masa Ekonomi Pancasila atau Orde Baru (1966-1998). Pada masa orde baru, di dalamnya terdapat masa stabilisasi dan rehabilitasi dengan masalah pokok yang dihadapi yaitu;
a.         Meningkatnya inflasi yang mencapai 650% pada tahun 1965c)
b.         Turunnya produksi nasional di semua sektor
c.         Adanya dualisme pengawas dan pembinaan perbankan. Dualisme ini muncul dari struktur organisasi perbankan yang meletakkan Deputy Menteri bank Sentral dan Deputy Menteri Urusan Penertiban bank dan Modal Swasta berada di bawah Menteri Keuangan.
Rencana dan Kebijaksanaan Ekonomi yang dibuat yaitu Ketetapan MPRS Nomor XXIII/MPRS/1966 tentang: Pembaharuan kebijaksanaan landasan ekonomi, keuangan dan pembangunan, tertanggal 5 Juli 1966, antara lain menetapkan :
1)   Program stabilisasi dan rehabilitasi : 1966 – 1968 (jangka pendek)
a)    Skala Prioritasnya
(1)      Pengendalian inflasi
(2)      Pencukupan kebutuhan pangan
(3)      Rehabilitasi prasarana ekonomi
(4)      Peningkatan kegiatan ekspor
(5)      Pencukupan kebutuhan sandang
b)   Komponen Rencananya
(1)      Rencana fisik dengan sasaran utama :
(a)      Pemulihan dan peningkatan kapasitas produksi (pangan, ekspor dan sandang)
(b)     Pemulihan dan peningkatan prasrana ekonomi yang menunjang bidang-bidang tersebut.
(2)      Rencana Moneter  dengan sasaran utama :
(a)      Terjaminnya pembiayaan rupiah dan devisa bagi pelaksanaan rencana fisik.
(b)     Pengendalian inflasi pada tingkat harga yang relatif stabil sesuai dengan daya beli rakyat.
c)    Tindakan dan Kebijaksanaan Pemerintah
(1)      Tindakan pemerintah “banting stir” dari ekonomi komando ke ekonomi bebas demokratis; dari ekonomi tertutup ke ekonomi terbuka; dari anggaran defisit ke anggaran berimbang. (Mubyarto, 1988).
(2)      Serangkaian kebijaksanaan Oktober 1966, Pebruari 1967 dan Juli 1967 antara lain :
(a)      Kebijaksanaan kredit yang lebih selektif (penentuan jumlah, arah, suku bunga)
(b)     Menseimbangkan/ menurunkann defisit APBN dari 173,7% (1965), 127,3% (1966), 3,1% (1967) dan 0% (1968).
(3)      Mengesahkan / memberlakukan undang-undang :
(a)      UU Pokok Perbankan No. 14/ 1967
(b)     UU Perkoperasian no. 12/ 1967
(c)      UU Bank Sentral No. 13/ 1968
(d)     UU PMA tahun 1967 dan UU PMDN tahun 1968
(e)      Membuka Bursa Valas di Jakarta 1967.
2)   Program Pembangunan dimulai tahun 1969/ 1970 (jangka panjang)
a)    Skala Prioritasnya
(1)      Bidang pertanian
(2)      Bidang prasarana
(3)      Bidang industri/ pertambangan dan minyak
b)   Jangka waktu dan strategi pembangunan
1)        Pembangunann jangka menengah terdiri dari pembangunan Lima Tahun (PELITA) dan dimulai dengan PELITA I sejak tahun 1969/ 1970
2)        Pembangunan Jangka Panjang dimulai dengan pembangunan Jangka Panjang Tahap I (PJPT – I) selama 25 tahun, terdiri dari :
(a)      PELITA I 69 / 70 = 73 / 74
Titik berat pada sektor pertanian dan industri yang menunjang sektor pertanian.
(b)     PELITA II 74/75 – 78/79
Titik berat pada sektor pertanian dengan meningkatkan industri pengolah bahan mentah menjadi bahan baku.
(c)      PELITA III 79/80 – 83/84
Titik berat sektor pertanian (swasembada beras) dengan meningkatkan industri pengolah bahan baku menjadi barang jadi.
(d)     PELITA IV 84/85 – 88/89
Titik berat pertanian (melanjutkan swasembada pangan) dengan meningkatkan industri penghasil mesin-mesin.
(e)      PELITA V 89/90 – 93/94
Sektor pertanian untuk memantapkan swasembada pangan dengan meningkatkan sektor industri penghasil komoditi ekspor, pengolah hasil pertanian, penghasil mesin-mesin dan industri yang banyakk menyerap tenaga kerja.
PELITA V meletakkan landasan yang kuat untuk tahap pembangunan selanjutnya.
Masa Oil Boom (1973/74 – 1981/82) berlangsung sepanjang waktu pelaksanaan PELITA I – PELITA III (akhir tahun PELITA I sampai pertengahan tahun PELITA III).


C.      Pengaruh Positif Oil Boom terhadap Perekonomian Indonesia
1.         Dengan adanya kejadian Oil Boom, naiknya harga minyak (krisis minyak) memberikan keuntungan yang relatif sangat besar kepada Indonesia. Pada kurun waktu tersebut, Indonesia “ketiban pulung” windfall dari kenaikan harga minyak karena pada saat itu Indonesia merupakan eksportir minyak. Kenaikan harga minyak ini, mampu mendongkrak jumlah “pundi-pundi” devisa negara sehingga pada saat itu untuk sementara keadaan keuangan Indonesia terselamatkan (Anggaran Negara).
2.         Menjelang tahun 1977 perekonomian Indonesia telah mengalami perubahan struktural yang cukup menyolok, sebagai akibat kebijaksanaan pemerintah yang ditunjang oleh naiknya harga minyak bumi. Selama dasawarsa setelah tahun 1965, bagian GDP atau PDB yang berasal dari sektor pertanian turun dari 52 % menjadi 35 %, sedangkan bagian GDP yang berasal dari sektor pertambangan telah melonjak dari 3,7 % menjadi 12 %.
3.         Selama Pelita  I, II, III (1973/74 – 1979/80) nilai keseluruhan ekspor Indonesia meningkat :
a.         Awal Pelita I US$ 1 miliar meningkat menjadi US$ 3,6 miliar (akhir Pelita I)
b.        Awal Pelita II US$ 7,1 miliar meningkat menjadi US$ 11,3 miliar (akhir Pelita II).
c.         Puncaknya mencapai US$ 23,6 miliar pada tahun 1981/1982.
4.         Laju pertumbuhan ekonomi cenderung meningkat :
a.         Tiap Pelita rata-rata : 7% (Pelita I), 7,2% (Pelita II) dan 6,5% (Pelita III).
b.        Terus meningkat mencapai 9,9% (1980), kemudian menurun 7,9% (1981) dan merosot menjadi 2,3% pada waktu resesi ekonomi tahun 1982.


D.      Pengaruh Negatif Oil Boom terhadap Perekonomian Indonesia
1.         Bangsa Indonesia menjadi manja, hidupnya boros dan mewah seperti, terlihat :
a.         Nilai ekspor naik 6,8 per tahun tapi diikuti naiknya nilai impor yang lebih tinggi, yaitu 16,6% per tahun. (Mubyarto, 1988).
b.        Kebutuhan modal asing (pinjaman lunak) tidak menurun: rata-rata US$ 562 juta per tahun (1970-1973), malahan meningkat rata-rata US$ 1,646.9 juta per tahun (1974-1984), (Lampiran Pidato Kenegaraan Presiden RI 15-8-1974 dalam Zulkarnain Djamin, 1993).
2.         Bangsa Indonesia menderita penyakit belanda (the Dutch disease), gejalanya terlihat antara lain :
a.         Laju inflasi dalam negeri lebih tinggi dari inflasi dunia (negara partner dagang) sebagai akibat besarnya monetisasi penerimaan negara dalam valas.
b.        Defisit APBN (dalam rupiah) ditutup dengan surplus penerimaan (dalam valas). Akibatnya jumlah uang beredar meningkat, inflasi meningkat.
c.         Laju pertumbuhan yang uang beredar jauh lebih besar, rata-rata 34,9%, lalu pertumbuhan ekonomi rata-rata 8% per tahun selama 1972 – 1981
E.       Kebijakan Pemerintah menghadapi Oil Boom
Dikarenakan Oil Boom terjadi pada akhir tahun PELITA I sampai pertengahan tahun PELITA III maka kebijaksanaan tiga PELITA antara lain:
1.         PELITA I ; sebagian besar anggaran pemerintah dialokasikan di bidang ekonomi, yaitu 78,28%, untuk sektor pertanian dan irigrasi, sektor perhubungan dan pariwisata, industri dan pertambangan serta sektor pedesaan.
2.         PELITA II : kebijaksanaan ekonomi periode ini berkisar pada :
a.         Kebijaksanaan stabilisasi 9 April 1974 (menyangkut aspek moneter, fisikal dan perdaganagn).
b.        Keibjaksanaan devaluasi rupiah terhadap dollar AS (kurang lebih 45%) pada bulan Nopember 1978.
3.         PELITA III : Unsur pemertaan lebih ditekankan melalui delapan jalur pemeraataan-pemertaan:
a.         Kebutuhan pokok rakyat (pangan, sandang)
b.        Kesempatan memperoleh pendidikan, kesehatan
c.         Pembagian pendapatan
d.        Perluasan kesempatan kerja
e.         Usaha, terutama golongan ekonomi lemah
f.         Kesempatan berpartisipasi (pemuda, wanita
g.        Pembangunan antar daerah
h.        Kesempatan memperoleh keadilan
4.         Kebijaksanaann Januari 1982 : keringan kredit ekspor, penurunan biaya gudang, pelabuhan dan bebas memiliki devisa.
5.         Eksportir dibebaskan dari kewajiban menjual devisa yang diperolehnya dari hasil ekspor barang/ jasa kepada bank Indonesia.
6.         Di bidang impor juga diberikan keringnan bea masuk dan PPN Impor untuk barang-barang tertentu.
7.         Kebijakan imbal beli Januari 1983 : mengatur ekspor-impor dengan cara imbal beli untuk mengurangi pemakaian devisa.
8.         Di bidang perkreditan pelaksanaan KIK/ KMK semakin disempurnakan dengan Keppres No. 18/1981
Pertumbuhan ekonomi pada periode ini dihambat oleh reseeese dunia yang belum juga berakhir. Sementara itu nampak ada kecenderungan harga minyak yang semakin menurun khususnya pada tahun-tahun terakhir Repelita III.
Pada waktu itu yang dilakukan pemerintah bukan menyimpan atau menabung sebagian dana minyak tersebut, sebagaimana yang dilakukan Arab Saudi dan negara-negara Timur Tengah lainnya, yang menyimpan dan menginvestasikan dananya di negara-negara Barat. Indonesia sebaliknya malah meningkatkan pinjamannya kepada IGGI (yang tahun 1992 berubah menjadi CGI) dengan “jaminan” penerimaan minyak yang besar. Akibatnya, ketika utang sudah mulai jatuh tempo, nila tukar rupiah merosot, dan penerimaan minyak semakin terbatas, Indonesia menghadapi kesulitan membayar kembali utangnya. Kita tejebak dalam fenomena “Gali lubang, tutup lubang”. Di samping itu, ketergantungan pada negara lain menjadi tinggi, dan kedaulatan ekonomi pun “tersandera” pada lembaga-lembaga keuangan internasional.
Masa Oil Boom ditandai dengan industrialisasi yang diarahkan oleh pemerintah, peran BUMN yang menonjol dan pembiayaan oleh bank-bank pemerintah.  Oil Boom I yang memberikan tambahan dana bagi pembangunan telah mengundang pemikiran alternatif atau tandingan. Pemikiran tandingan dari kelompok nasionalis dan teknisi yang ingin melakukan lompatan ke depan dan mengembangkan industri besar dan teknologi tinggi. Pusat pemikiran tandingan ini tersebar di dua tempat, yaitu pada Ali Murtopo dan Soedjono Hoemardani dan di Pertamina yang melahirkan Divisi Teknologi Pertamina. Divisi ini kemudian menjelma menjadi BPPT. Produk dari pemikiran ini antara lain pabrik baja Krakatau Steel generasi pertama dan beberapa pabrik pupuk yang sebagian besar praktis terbengkalai karena tidak dilakukan dengan menggunakan analisis biaya-manfaat yang benar.
Krisis Pertamina tahun 1975 telah menaikkan kembali peran teknokrat. Ditambah lagi dengan kasus Malari pada tahun sebelumnya telah mendorong pemerintah memberikan kuasa penuh pada teknokrat untuk mengembangkan strategi pembangunan yang berdimensi pemerataan. Hasil dari perubahan ini tercermin dari berbagai proyek Inpres yang kemudian diakui telah banyak berperan dalam mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia.
Oil Boom yang kedua tahun 1978 membuat pemerintah melalaikan disiplin anggaran dan mendorong pemerintah kembali memberi angin kepada kelompok nasionalis dan teknisi. Berbagai pos penting seperti BKPM, dan Departemen Perindustrian, diisi oleh kelompok ini ditambah dengan dua pusat kekuatan baru yaitu Sekneg dan BPPT. Industri-industri strategis yang terbengkalai kembali dilanjutkan dan diperluas, namun sayangnya, sekali lagi kecuali PT Krakatau Steel, hampir semua industri strategis ini masih belum mampu memenuhi harapan. Ketergantungan keuangan dan pemasaran terhadap pemerintah masih sangat tinggi hingga dewasa ini.

F.       Pasca Oil Boom
 Harga minyak mencapai US$ 35.00/ per barrel (1981 – 1982), menurun lagi menjuadi US$ 29.53/ barrel (1983 – 1984) dan tahun-tahun berikutnya harga berfluktuasi tidak menentu. Sejak tahun 1983 perekonomian Indonesia memasuki masa Pasca Oil Boom (Pasca Bonanza Minyak). Tahun 1986 terjadi goncangan ekonomi akibat merosotnya harga minyak sampai titik terendah US$ 9,83/ barrel. Program refromasi ekonomi (pemulihan) mulai menampakkan hasil pada tahun 1998.
1.         Masalah-masalah yang dihadapi
Merosotnya harga minyak di pasar internasional sepanjang tahun 1983 – 1987 menimbulkan masalah berat bagi perekonomian Indonesia karena penerimaan sektor migas menurun; defisit transaksi berjalan dan defisit APBN meningkat.
Dampak turunnya harga minyak :
a.         Penerimaan migas dari hasil ekspor menurun 2,0% menjadi US$ 14.449 juta (1983/1987) dan menurun lagi 44,0% menjadi US$ 6.966 juta (1986/1987).
b.        Defisit transaksi berjalan meningkat dari US$2..888 juta menjadi US$4.151 juta (1983/1984) dan meningkat lagi dari US$1.832 juta menjadi US$ 4.051 juta (1986/1987).
c.         Defisit APBN meningkat dari Rp 1.938 triliun menjadi Rp 2.742. triliun (1983/1984) dan meningkat lagi dari Rp 3.571 triliun menjadi Rp 3.589 triliun (1986/1987). Sedangkan anggaran pembangunan berkurang Rp 2.777 triliun atau 23,7% dibanding tahun yang lalu karena pada tahun 1986/1987 banyak proyek yang ditunda/ dipangkas. (angka-angka diolah kembali dari laporan BI tahun yang bersangkutan).
2.         Rencana dan Kebijaksanaan Pemerintah
Masa Pasca Oil Boom terjadi pada tahun ke-5 PELITA III (1983/1984) sampai tahun ke-3 PELITA IV (1986/1987).
Kebijaksanaan tahun 1983 – 1984 :
a.         Devaluasi Rupiah terhadap US Dollar (US$ 1 = Rp 702 menjadi US$ 1= Rp 970) untuk memperkuat daya saing.
b.        Menekan pengeluaran pemerintah dengan pengurangan subsidi dan penangguhan beberapa proyek pembangunan
c.         Kebijaksanaan moneter perbankan 1 Juni 1983 (PAKJUN 1983) :
1)        Kebebasan menentukan suku bunga deposito dan pinjaman bagi bank-bank pemerintah
2)        Pemerintah menerbitkan SBI (Sertifikat Bank Indonesia) sejak Pebruari 1984 dan memberikan fasilitas diskonto keapada bank-bank umum yang mengalami kesulitan likuiditas (SBPU mulai digunakan Pebruari 1985).
d.        Kebijaksanaan perpajakan : memberlakukan seperangkat Undang-undang Pajak Nasional (1984).

3.         Kebijaksanaan Reformasi Ekonomi  1986 – 1987
Kebijaksanaan ini terutama diarahkan untuk mencegah memburuknya neraca pembayaran, mendorong ekspor non migas, mendorong penanaman modal dan meningkatkan daya saing produk ekspor (non migas) di pasar dunia.
a.         Sektor Fiskal/ Moneter :
1)        Pemerintah melakukan penghematan antara lain dengan mengurangi subsidi; meningkatkan penerimaan melalui intensiftikasi dan ekstensifikasi pemungutan pajak.
2)        Devaluasi rupiah terhadap US Dollar sebesar 31% (dari US$ 1 = Rp 970 menjadi US$ 1 = Rp 1.270)
3)        Tidak menaikkan suku bunga instrumen moneter untuk mendorong kegiatan ekonomi dan pengerahan dana serta memperbaiki posisi neraca pembayaran.
4)        Pemerintah menghapus ketentuan pagu swap ke Bank Indonesia untuk mendoirong pemasukan modal asing dan dana dari luar negeri
b.        Sektor Riil (struktural) :
1)        PAKMI – 1986 (6 Mei 1986) menyangkut ekspor: kemudahan tata niaga, fasilitas pembebasan dan pengembalian bea masuk, pembentukan kawasan berikat.
2)        PAKTO – 1986 ( 25 Oktober 1986) menyangkut impor: mengganti “sistem non tarif” dengan “sistsem tarif” untuk mencegah manipulasi harga barang. Penyempurnaan bea masuk dan bea masuk tambahan.
3)        PAKDES – 1986 (29 Desember 1986) : memberi kemudahan-kemudahan kepada perusahaan-perusahaann industri strategis tertentu.
Program penyesuaian ekonomi struktural dan reformasi ekonomi yang dilakukan pemerintah Indonesia sejak anjloknya harga minyak di pasar dunia pada pertengahan tahun 1980-an mencakup empat katagori besar, yaitu : (1) pengaturan nilai tukar rupiah (exchange rate management), (2) kebijakan fiskal, (3) kebijakan moneter dan keuangan serta (4) kebijakan perdagangan dan deregulasi atau reformasi di sektor riil dan moneter. (Tulus Tambunan, 1996). Beberapa hasil Reformasi Ekonomi 1986 – 1987 :
a.         Laju pertumbuhan ekonomi meningkat dari 4,9% (1987) menjadi 5,8% (1988)
b.        Nilai total ekspor meningkat dari US$ 17.206 juta (1987) menjadi US$ 19.509 juta (1988) Prosentasi ekspor non migas meningkat dari 50,2% (1987) menjadi 59,8% (1988).
c.         Defisit transaksi berjalan menurun : uS$2.269 juta (1987) menjadi US$1.552 juta (1988). (Statistik Keuangan 1991/1992, BPS)
Meskipun adanya perbaikan dalam lingkungan ekonomi eksternal, termasuk pemulihan harga minyak, telah membantu Indonesia dalam proses penyesuaiannya, usaha dan tindakan setelah tahun 1986 berupa kebijaksanaan-kebijaksanaan struktural dan finansial yang tepat telah memainkan peranan penting. Kebijaksanaan-kebijaksanaan penyesuaian yang dijalankan sejak tahun 1986 telah memperkuat kemampuan ekonomi Indonesia untuk berdaya tahan terhadap goncangan yang merugikan.










BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Masa Oil Boom merupakan masa emas bagi dunia pertambangan, karena pundi-pundi uang yang dihasilkan dari minyak dan gas yang dijual mampu membantu proses pembangunan di Indonesia.  Tentu saja, hal ini tak terlepas dari tragedi tindakan pemboikotan yang dilakukan oleh OPEC dan Timur Tengah yang sedang berkonflik dengan Israel.
Peristiwa Oil Boom memberikan pengaruh yang cukup kuat terhadap perekonomian di Indonesia.  Pengaruh positif dari peristiwa Oil Boom antara lain, keuangan Indonesia yaitu anggaran negara terselamatkan sementara, selama Pelita  I, II, III laju pertumbuhan ekonomi cenderung meningkat, dan nilai keseluruhan ekspor Indonesia meningkat.  Dampak negatif dari peristiwa Oil Boom yaitu; bangsa Indonesia menjadi manja, hidupnya boros dan mewah dan bangsa Indonesia menderita penyakit belanda (the Dutch disease).  Selain itu, peristiwa Oil Boom juga mengakibatkan pemerintah melalaikan disiplin anggaran dan rawan akan KKN. 
Pasca peristiwa Oil Boom, Indonesia mengalami terjadi goncangan ekonomi akibat merosotnya harga minyak sampai titik terendah US$ 9,83/ barrel yaitu pada tahun 1986.  Merosotnya harga minyak di pasar internasional sepanjang tahun 1983 – 1987 menimbulkan masalah berat bagi perekonomian Indonesia karena penerimaan sektor migas menurun; defisit transaksi berjalan dan defisit APBN meningkat.
Hal ini memberikan pelajaran bagi Bangsa Indonesia untuk tidak hanya menengadahkan tangan menikmati berbagai pundi-pundi uang yang masuk ke dalam devisa negara, namun juga mempertimbangkan peristiwa yang akan terjadi di masa yang akan datang, sehingga tidak mengalami “shock” dengan kata lain telah mengantisipasi kemungkinan terburuk yang akan terjadi.

B.       Saran
Apabila kelak Indonesia mengalami peristiwa semacam Oil Boom, diharapkan masyarakat Indonesia telah mempersiapkan diri sehingga tidak memberikan dampak negatif yang terlalu berpengaruh bagi kehidupan masyarakat Indonesia, seperti masyarakat yang menjadi manja, hidupnya boros dan mewah. 
Bagi pemerintah dan pihak-pihak yang terkait, diharapkan memberikan sosialisasi yang memadai untuk masyarakat, sehingga dapat menanggulangi dampak negatif yang dapat terjadi dari peristiwa serupa.  Selain itu, pemerintah hendaknya tetap disiplin dan konsisten dalam penarikan keuangan.  Selain itu, diharapkan pula, bagi masyarakat dan pemerintah untuk bekerjasama mengoptimalkan sektor-sektor yang dapat memberikan windfall bagi Indonesia.


















Daftar Pustaka


http;//freetechebooks.com/doc-2011/sejarah-oil-page6.html/ 28 Juli 2011/ 15.43WIB

http;//www.agungbaitul.co.tv/Oil Boom/makalah-ekonomi.html/27 Juli 2011/14.22 WIB

http;//www.armanspsongo.com » 2010 » Januari » 102.html/28 Juli 2011/ 15.30 WIB

http;//www.blogspot.com./tansformasi struktural perekonomian indonesia pada tahun 2020: permasalahan dan tantangan/tri widodo w. utomo .html/ 29 Juli 2011/ 16.55 WIB















1 komentar:

  1. Ka makalahnya bagus, luar biasa. Tapi sumber yg tercantum tidak sesuai. Jika boleh saya minta sumber aslinya dari mana? Terima kasih :)

    BalasHapus