TEORI DAN PROSES
PERUBAHAN SOSIAL BUDAYA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap
waktu mulai dari hitungan detik, menit, jam
hari dan seterusnya selalu mengalami pergerakan, sekecil apapun
itu. Pergerakan ini terus muncul karena
merupakan hasil karya dan olah pikir manusia untuk menemukan serta mendapatkan
berbgai macam kemudahan dalam menjalani hidup.
Dan seperti hukum alam yang selalu terjadi, pergerakan ini selalu
membawa efek perubahan termasuk perubahan sosial dan budaya yang terjadi di
masyarakat.
Proses
perubahan sosial budaya ini berawal dari manusia sebagai makhluk individu yang
tidak dapat melepaskan diri dari hubungan dengan manusia lain. Sebagai akibat
dari hubungan yang terjadi di antara individu-individu (manusia) kemudian
lahirlah kelompok-kelompok sosial (social group) yang dilandasi oleh
kesamaan-kesamaan kepentingan bersama. Namun bukan berarti semua himpunan
manusia dapat dikatakan kelompok sosial. Untuk dikatakan kelompok sosial
terdapat persyaratan-persyaratan tertentu. Dalam kelompok sosial yang telah
tersusun susunan masyarakatnya akan terjadinya sebuah perubahan dalam susunan
tersebut merupakan sebuah keniscayaan. Karena perubahan merupakan hal yang
mutlak terjadi dimanapun tempatnya.
Perubahan-perubahan
yang terjadi pada manusia selama hidupnya, dapat berupa perubahan yang tidak
menarik dalam arti tidak signifikan, namun ada pula perubahan yang pengarusnya
terbatas maupun yang luas, serta ada pula perubahan-perubahan yang lambat
sekali, akan tetapi ada juga yang berjalan dengan cepat.
Perubahan-perubahan
di dalam masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma sosial,
pola-pola perikelakuan, organisasi, susunan lembaga-lembaga kemasyarakatan,
lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan lain
sebagainya.
Dewasa
ini, perubahan-perubahan pada masyarakat di dunia, merupakan gejala yang
normal, yang pengaruhnya menjalar dengan cepat ke bagian-bagian dunia lainnya,
antara lain berkat adanya dunia informasi teknologi yang modern dan berkembang
dengan pesat. Penemuan-penemuan baru
dibidang teknologi yang terjadi disuatu tempat, dengan cepat dapat diketahui
oleh manusia lain di berbagai belahan penjuru dunia. Berdasarkan paparan di atas, maka pemakalah
akan membahas lebih mendalam mengenai konsep, proses serta teori dari perubahan
sosial budaya.
B. Rumusan Masalah
1.
Apakah yang dimaksud dengan perubahan sosial
budaya?
2.
Bagaimanakah proses perubahan sosial budaya?
3.
Apa saja teori dari perubahan sosial budaya?
4.
Apa saja hal-hal yang berkaitan dengan perubahan
sosial budaya?
C. Tujuan
1.
Mengetahui definisi dari perubahan sosial
budaya?
2.
Memahami proses perubahan sosial budaya?
3.
Mengetahui teori dari perubahan sosial budaya?
4.
Mempelajari bentuk-bentuk perubahan sosial
budaya?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Perubahan Sosial Budaya
Terdapat
perbedaan yang mendasar antara perubahan sosial dengan perubahan budaya. Perbedaan
itu terjadi karena istilah perubahan sosial budaya sesungguhnya
berasal dari dua konsep yang berbeda, pertama perubahan social yang dilihat dengan
kacamata sosiologi dan kedua perubahan kebudayaan yang dilihat menggunakan kacamata
antropologi.
Perubahan
sosial merupakan bagian dari perubahan budaya.
Perubahan sosial meliputi perubahan dalam perbedaan usia, tingkat
kelahiran, dan penurunan rasa kekeluargaan antar anggota masyarakat sebagai
akibat terjadinya arus urbanisasi dan modernisasi.
Perubahan
kebudayaan jauh lebih luas dari perubahan sosial. Perubahan budaya menyangkut
banyak aspek dalam kehidupan seperti kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi,
aturan-aturan hidup berorganisasi, dan filsafat. (www.blogspot.com./perubahan
sosial budaya « cafestudi061′s weblog.htm).
Berikut ini merupakan makna umum dari sosial dan budaya. Menurut Soedjono Dirdjosiswojo,
memberikan definisi bahwa perubahan social adalah perubahan
fundamental yang terjadi dalam struktur social, sistem social dan organisasi social. Sedangkan William F. Ogburn mengemukakan bahwa ruang
lingkup perubahan-perubahan sosial mencakup unsur-unsur kebudayaan yang
materiil maupun immateriil dengan menekankan bahwa pengaruh yang besar dari
unsur-unsur immaterial.
Mac Iver lebih suka membedakan antara utilitarian elements dengan cultural elements yang didasarkan pada
kepentingan-kepentingan manusia yang primer dan sekunder. Sedangkan culture, menurut mac iver adalah
ekspresi dari jiwa yang terwujud dalam cara hidup dan berfikir, pergaulan
hidup, seni kesusasteraaan, agama, rekreasi dan hiburan. Mac Iver mengeluarkan unsur materiil dari
ruang lingkup culture. Perubahan sosial
dikatakannya sebagai perubahan dalam hubungan sosial atau sebagai perubahan
keseimbangan sosial tersebut.
Gillin dan
Gillin mengatakan bahwa perubahan–perubahan sosial untuk suatu
variasi cara hidup yang lebih diterima yang disebabkan baik karena perubahan
kondisi geografis, kebudayaan materiil, kempetisi penduduk, ideologi, maupun
karena adanya difusi atau perubahan- perubahan baru dalam masyarakat tersebut.
Sole
Soemardjan mengatakan perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi
pada lembaga kemasyarakatan di dalam sutau masyarakat yang mempengaruhi sitem
sosial, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap- sikap dan pola perilaku
diantara kelompok dalam masyarakat.
Kemudian, Koentaraningrat, menyatakan bahwa perubahan budaya adalah perubahan-perubahan yang
mencakup unsur-unsur kebudayaan, yakni mencakup perubahan sistem pengetahuan, organisasi
social, sistem mata pencaharian, sistem teknologi, religi, bahasa dan kesenian. Perubahan ini terjadi akibat ketidaksesuaian diantara
unsur-unsur kebudayaan yang saling berbeda sehingga menghasilkan suatu keadaan yang
harmonis bagi kehidupan. (http://prasetyowidi.wordpress.com/2010/01/03/definisi-perubahan-sosial-dan-tipe-tipe-perubahan-sosial/)
Dapat disimpulkan
bahwa perubahan sosial budaya adalah perubahan
yang mencakup hampir semua aspek kehidupan social dan budaya dari suatu masyarakat
atau komunitas. Pada hakekatnya, proses ini
lebih cenderung pada proses penerimaan perubahan baru yang dilakukan oleh masyarakat
tersebut guna meningkatkan taraf hidup dan kualitas kehidupannya.
Meskipun demikian, perubahan
sosial budaya tidaklah lepas dari penilaian tentang akibat positif dan negative
dari responden yang mengalami proses ini secara langsung. Terdapat pihak masyarakat yang dapat menikmati
aroma positif dari perubahan ini, namun juga tidak terlepas dari aroma negative yang dinilai merugikan dan menghambat
suatu pihak akibat keadaan baru yang datang pada komunitas mereka
Perubahan
sosial dan perubahan budaya yang terjadi di masyarakat saling berkaitan. Tidak
ada masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan dan sebaliknya tidak mungkin ada
kebudayaan tanpa masyarakat. Dalam prakteknya di lapangan pun kedua jenis
perubahan tersebut sangat sulit untuk dipisahkan. (http://www.gudangmateri.com/2011/02/pengertian-dan-bentuk-perubahansosial.html)
B. Proses Perubahan Sosial Budaya
Berikut ini merupakan proses dari perubahan sosial budaya
1.
Penyesuaian
masyarakat terhadap perubahan
Merupakan
sebuah dambaan dalam masyarakat apabila tercipta keseimbangan atau
harmoni. Dengan keseimbangan dalam
masyarakat, maka dapat tergambarkan suatu keadaan dimana lembaga-lembaga
kemasyarakatan yang pokok dari masyarakat benar-benar berfungsi dan saling
mengisi. Sehingga, setiap individu
secara psikologis merasakan akan adanya suatu ketentraman dikarenakan tidak
adanya suatu konflik atau pertentangan dalam nilai-nilai dan norma-norma.
Apabila
terjadi suatu gangguan terhadap keadaan
keseimbangan tersebut, maka masyarakat dapat menolaknya atau merubah susunan
lembaga-lembaga kemasyarakatannya dengan maksud untuk menerima suatu unsur yang
baru. Akan tetapi, terkadang unsur baru
tersebut dipaksakan masuknya oleh suatu kekuatan. Masyarakat dapat senantiasa membuka diri
terhadap unsur baru yang pengaruhnya tetap ada, namun tidak menimbulkan
kegoncangan, dan sifatnya dangkal serta hanya terbatas pada bentuk
luarnya. Selain itu, norma dan nilai
sosial tidak akan terpengaruh olehnya dan dapat berfungsi secara wajar.
Adakalanya
unsur baru dan lama bertentangan, dan secara bersamaan mempengaruhi norma-norma
dan nilai-nilai yang kemudian berpengaruh pula pada warga-warga
masyarakat. Hal itu berarti suatu
gangguan yang kontinue terhadap keseimbangan masyarakat. Keadaan tersebut berarti bahwa
ketegangan-ketegangan serta kekecewaan di antara para warga masyarakat, tidak
tersalurkan ke arah suatu pemecahan atau penyelesaian. Apabila ketidak-seimbangan tersebut terdapat
dipulihkan kembali, setelah terjadi suatu perubahan, maka keadaan tersebut dinamakan suatu penyesuaian (adjustment), bila sebaliknya yang terjadi, maka
keadaan tersebut dinamakan ketidak
penyesuaian sosial (maladjustment) yang mungkin mengakibatkan terjadinya
anomie.
Suatu
perbedaan dapat terjadi antara penyesuaian dari lembaga-lembaga kemasyarakatan
dan penyesuaian orang perorangan dalam masyarakat tersebut. Yang pertama menunjuk pada suatu keadaan,
dimana masyarakat berhasil menyesuaikan lembaga kemasyarakatan dengan keadaan
yang mengalami perubahan sosial budaya, sedangkan yang kedua menunjuk pada
usaha orang perorangan untuk menyesuaikan diri dengan lembaga kemasyarakatan
yeng telah diubah atau diganti, agar terhindar dari disorganisasi psikologis.
(Soerjono Soekanto, 1982: 333)
2.
Saluran-saluran
perubahan sosial budaya
Saluran-saluran
perubahan sosial dan kebudayaan (avenue
or channel of change) merupakan saluran-saluran yang dilalui oleh suatu
proses perubahan dalam masyrakat yang pada umumnya adalah lembaga
kemasyarakatan di bidang pemerintahan, ekonomi, pendidikan, agama, dan
seterusnya. Lembaga kemasyarakatan yang
merupakan titik tolak, tergantung pada “cultural focus” masyarakat pada suatu
masa tertentu (artinya, yang menjadi pusat perhatian masyarakat).
Lembaga
kemasyarakatan yang pada suatu waktu mendapatkan penilaian tertinggi dari
masyarakat, cenderung menjadi sumber atau saluran untama dari perubahan sosial
budaya. Perubahan pada lembaga
kemasyarakatan tersebut akan berpengaruh juga kemana lembaga kemasyarakatan
lainnya, hal ini dikarenakan suatu sistem yang terintegrasi. Berikut ini bagan mengenai keterikatan lembaga
kemasyarakatan sebagai suatu sistem sosial:
Pemerintah
Organisasi Keagamaan Organisasi
Ekonomi
Organisasi Pendidikan Keluarga
Dengan singkat dapatlah dikatakan bahwa
saluran tersebut berfungsi agar sesuatu perubahan dikenal, diterima, diakui
serta dipergunakan oleh khalayak ramai, atau dengan singkat, mengalami proses institutionalization (pelembagaan).
3.
Disorganisasi
(disintegrasi) dan reorganisasi (reintegrasi)
a.
Definisi
Organisasi
merupakan artikulasi dari bagian-bagian yang merupakan suatu kesatuan
fungsionil. Maka disorganisasi adalah suatu keadaan dimana tidak ada suatu
keserasian pada bagian-bagian dari suatu kebulatan. Contohnya adalah masyarakat, agar dapat
berfungsi sebagai organisasi, harus ada keserasian antara bagian-bagiannya
seperti lembaga kemasyarakatan, norma, nilai, dan sebagainya.
Perlu ditegaskan bahwa tidak hanya
terdapat dua kutub yang berbeda atau berlawanan yaitu disorganisasi dan adanya
organisasi, karena disorganisasi mengenal pula bermacam-macam derajat atau
tahap-tahap kelangsungan. Kriteria terjadinya disorganisasi antara
lain terletak pada persoalan apakah organisasi tersebut berfungsi secara
semestinya atau tidak baik, mengenai keseimbangan bagian-bagiannya dalam
melaksanakan masing-masing fungsinya.
Suatu persoalan lain yang timbul adalah
bahwa disorganisasi dalam masyarakat acapkali dihubungkan dengan moral dalam
arti anggapan tentang apa yang baik dan yang buruk. Namun di dalam masyarakat yang sangat perlu
untuk diperhatikan bahwa disorganisasi tidak selalu menyangkut persoalan
moral. Sebaliknya perbuatan yang immoral
belum tentu merupakan disorganisasi.
Suatu
disorganisasi atau disintegrasi mungkin dapat dirumuskan sebagai suatu proses
berpudarnya norma dan nilai dalam masyarakat, karena perubahan-perubahan yang
terjadi pada lembaga kemasyarakatan.
Reorganisasi
atau reintegrasi adalah suatu proses pembentukan norma dan nilai baru untuk
menyesuaikan diri dengan lembaga kemasyarakatan yang telah mengalami perubahan.
Tahap reorganisasi dilaksanakan apabila
norma dan nilai yang baru telah
institutionalized (melembaga) dalam diri warga masyarakat. Berhasil tidaknya proses “institutionalization”
tersebut dalam masyarakat, mengikuti formula sebagai berikut:
(Efektivitas (kekuatan
menentang
Institutionalization=
menanam dari masyarakat) dffghhhh
Kecepatan menanam
Yang dimaksudkan degnan efektivitas menanam adalah hasil yang
positif dari penggunaan tenaga manusia, alat-alat, organisasi dan metoda untuk
menanamkan lembaga baru di dalam masyarkat.
Semakin besar kemampuan tenaga manusia, makin ampuh alat-alat yang
digunakan, maka akan semakin rapi dan teratur organisasinya dan semakin sesuai
sistim penanaman itu dengan kebudayaan masyarakat maka semakin besar hasil yang
dapat dicapai oleh usaha penanaman lembaga baru tersebut.
Akan tetapi setiap usaha untuk menanam
sesuatu unsur yang baru, pasti akan mengalami reaksi dari beberapa golongan
dari masyarakat yang merasa dirugikan. Kekuatan menentang dari masyrakat itu
mempunyai pengaruh yang negatif terhadap kemungkinan berhasilnya proses “institutionalization:
(pelembagaan).
Dengan demikian, maka apabila efektivitas
menanam kecil sedangkan kekuatan menentang dari masyarakat besar maka
kemungkinan suksesnya proses “institutionalization” menjadi kecil atau hilang
sama sekali begitu pula sebaliknya.
Berdasarkan hubungan timbal balik antara kedua faktor yang berpengaruh
positif dan negatif itu, orang dapat menambah kelancaran proses tersebut dengan
memperbesar efektivitas menanm dan /atau mengurangi kekuatan menentang dari
masyarakat. Penggunaan kekerasan untuk
mengurangi kekuatan menentang dari masyarakat itu biasanya malahan akan
memperbesar kekuatan tersebut, sehingga dapat memperlambat berhasilnya proses “institutionalization”.
Terhadap
hasil dari pengaruh positif dan negatif itu ada pengaruh dari faktor ketiga
yaitu faktor kecepatan menanam. Yang
artinya adalah panjang atau pendeknya jangka waktu dimana usaha menanam itu
dilakukan dan diharapkan memberi hasil.
Semakin tergesa-gesa orang berusaha mananam dan semakin cepat orang
mengharapkan hasilnya, maka semakin tipis efek dari “institutionalization”
dalam masyarakat, begitu pula sebaliknya.
Selain itu, apabila penambahan kecepatan menanam disertai dengan usaha
menambah efektivitas, maka hasil proses “institutionalization” tidaka akan
berkurang.
b.
Gambaran
mengenai disorganisasi dan reorganisasi
Apabila
disorganisasi terjadi dengan sangat
cepat, misalnya karena meletusnya revolusi, maka mungkin akan timbul
hal-hal yang sukar untuk dikendalikan. Reorganisasi tidak dapat terjadi dengan
cepat, karena terlebih dahulu harus menyesuaikan diri dengan masyarakat.
Sangat dimungkinkan terjadi, suatu keadaan dimana norma yang lama sudah hilang
karena disorganisasi tadi, sedangkan norma yang baru belum terbentuk, keadaan
tersebut merupakan suatu keadaan yang krisis dalam masyarakat.
Kejadian
tersebut akan memunculkan ‘anomie” yaitu
suatu keadaan dimana tidak ada pegangan terhadap apa yang baik dan buruk,
sehingga anggota masyarakat tidak mampu untuk mengukur tindakannya, karena
ketidak adaan batas-batas. Anomie
tersebut mungkin pula terjadi saat disorganisasi meningkat ke tahap
reorganisasi.
c.
Ketidakseimbangan
dalam perubahan dan “cultural lag”
Pada
masyarakat yang sedang mengalami perubahan, tidak selalu perubahan pada unsur
masyarakat dan kebudayaan mengalami kelainan yang seimbang. Di dalam masyarakat ada unsur-unsur yang
dengan cepat berubah, namun disisi lain ada pula unsur yang sukar untuk
berubah.
Apabila dalam hal ini terjadi
ketidakseimbangan, yaitu satu unsur
berubah dengan cepatnya sedangkan unsur lainnya yang berhubungan erat tidak
berubah atau berubah dengan lambat sekali, maka kemungkinan akan terjadi
kegoyahan dalam hubungan antara
unsur-unsur tersebut. Sampai sejauh mana
akibat dari keadaan tidak seimbang tersebut, tergantung dari erat tidaknya
integrasi antara unsur-unsur tersebut.
Cultural
lag (ketinggalan kebudayaan) adalah suatu perbedaaan antara taraf kemajuan
dari berbagai bagian dalam kebudayaan dari suatu masyarakat. Suatu lag juga terjadi apabila laju
perubahan dari dua unsur masyarakat atau kebudayaan (mungkin juga lebih) yang
mempunyai korelasi, tidak sebanding, sehingga unsur yang satu tertinggal oleh
unsur lainnya.
Pengertian lag dapat dipergunakan dalam palaing sedikit dua arti, Pertama sebagai suatu jangka waktu
antara terjadinya penemuan baru dan diterimanya penemuan baru tadi. Kedua, dipakai untuk menunjuk pada
tertinggalnya suatu unsur tertentu terhadap unsur lainnya yang erat
hubungannya.
Ketinggalan yang akan menyolok adalah
tertinggalnya alam fikiran dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat, hal
ini terjadi terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Perlu adanya peralihan alam pikiran yaitu
dari tradisional ke modern. (Soerjono Soekanto, 1982: 343)
C. Teori Perubahan Sosial Budaya
Kecenderungan terjadinya perubahan-perubahan sosial budaya
merupakan gejala yang
wajar yang timbul dari pergaulan hidup manusia di dalam masyarakat.
Perubahan-perubahan sosial akan terus berlangsung sepanjang masih terjadi
interaksi antarmanusia dan antarmasyarakat.
Perubahan sosial budaya terjadi karena adanya perubahan dalam
unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat, seperti perubahan
dalam unsurunsur geografis, biologis, ekonomis, dan kebudayaan.
Perubahan-perubahan tersebut dilakukan untuk menyesuaikan dengan perkembangan
zaman yang dinamis.
Teori klasik dalam sosiologi dimaknai
sebagai teori yang mengawali munculnya berbagai studi kemasyarakatan
(sosiologi), kemudian teori ini juga menjadi dasar bagi munculnya teori-teori
yang lahir sesudahnya. Kajian mengenai sosiologi sebenarnya telah dimulai sejak
abad ke-14, diawali dengan pemikiran Ibnu Khaldun (lahir tahun 1332). Meskipun
Khaldun tidak menyebut pemikirannya adalah pemikiran yang sosiologis, namun
sebenarnya pemikirannya sangat sosiologis. Ia tidak memakai terminologi
sosiologi, namun ia banyak menggunakan konsep-konsep dalam sosiologi, seperti
konsep masyarakat dan solidaritas sosial.
Pemikiran Khaldun juga dikenal dalam disiplin ilmu politik, agama, sejarah dan
filsafat. (http://nanang-martono.blog.unsoed.ac.id/?p=696)
Secara makro, studi mengenai perubahan
sosial budaya dapat diklasifikasikan menjadi empat kelompok pemikiran, yaitu
kelompok teori yang dikategorikan dalam teori evolusi, teori konflik, teori
fungsional, dan teori siklus. Adapun teori-teori secara
rinci yang
menjelaskan mengenai perubahan sosial adalah sebagai berikut:
1.
Teori Evolusi ( Evolution Theory )
Teori ini pada dasarnya berpijak pada
perubahan yang memerlukan proses yang cukup panjang. Dalam proses tersebut, terdapat
beberapa tahapan yang harus dilalui untuk mencapai perubahan yang diinginkan.
Ada bermacam-macam teori tentang evolusi. Teori tersebut digolongkan ke dalam
beberapa kategori, yaitu unilinear theories of evolution, universal theories
of evolution, dan multilined theories of evolution.
a.
Unilinear Theories of Evolution
Teori ini berpendapat bahwa manusia dan
masyarakat termasuk kebudayaannya akan mengalami perkembangan sesuai dengan
tahapan-tahapan tertentu dari bentuk yang sederhana ke bentuk yang kompleks dan
akhirnya sempurna.
Pelopor teori ini antara lain Auguste Comte dan Herbert Spencer.
b.
Universal Theories of Evolution
Teori ini menyatakan bahwa perkembangan
masyarakat tidak perlu melalui tahap-tahap tertentu yang tetap. Kebudayaan manusia telah mengikuti
suatu garis evolusi tertentu. Menurut Herbert Spencer, prinsip teori ini adalah
bahwa masyarakat merupakan hasil perkembangan dari kelompok homogen menjadi
kelompok yang heterogen.
c.
Multilined Theories of Evolution
Teori ini lebih menekankan pada
penelitian terhadap tahap-tahap perkembangan tertentu dalam evolusi masyarakat. Misalnya mengadakan penelitian
tentang perubahan sistem mata pencaharian dari sistem berburu ke sistem
pertanian menetap dengan menggunakan pemupukan dan pengairan.
Menurut Paul B. Horton dan Chester L. Hunt,
ada beberapa kelemahan dari Teori Evolusi yang perlu mendapat perhatian, di antaranya
adalah sebagai berikut:
a.
Data yang menunjang penentuan tahapan-tahapan dalam
masyarakat menjadi sebuah rangkaian tahapan seringkali tidak cermat.
b.
Urut-urutan dalam tahap-tahap perkembangan tidak sepenuhnya
tegas, karena ada beberapa kelompok masyarakat yang mampu melampaui tahapan
tertentu dan langsung menuju pada tahap berikutnya, dengan kata lain melompati
suatu tahapan. Sebaliknya, ada kelompok masyarakat yang justru berjalan mundur,
tidak maju seperti yang diinginkan oleh teori ini.
c.
Pandangan yang menyatakan bahwa perubahan sosial akan
berakhir pada puncaknya, ketika masyarakat telah mencapai kesejahteraan dalam
arti yang seluas-luasnya. Pandangan seperti ini perlu ditinjau ulang, karena
apabila perubahan memang merupakan sesuatu yang konstan, ini berarti bahwa
setiap urutan tahapan perubahan akan mencapai titik akhir.
Padahal perubahan merupakan sesuatu yang bersifat terus
menerus sepanjang
manusia melakukan interaksi dan sosialisasi.
2.
Teori Konflik ( Conflict Theory )
Menurut pandangan teori ini, pertentangan atau konflik
bermula dari pertikaian kelas antara kelompok yang menguasai modal atau
pemerintahan dengan kelompok yang tertindas secara materiil, sehingga akan
mengarah pada perubahan sosial. Teori ini memiliki prinsip bahwa konflik sosial
dan perubahan sosial selalu melekat pada struktur masyarakat.
Teori ini menilai bahwa sesuatu yang
konstan atau tetap adalah konflik sosial, bukan perubahan sosial. Karena
perubahan hanyalah merupakan akibat dari adanya konflik tersebut. Karena
konflik berlangsung terus-menerus, maka perubahan juga akan mengikutinya. Dua tokoh yang pemikirannya menjadi
pedoman dalam Teori Konflik ini adalah Karl Marx dan Ralf Dahrendorf.
Secara lebih rinci, pandangan Teori Konflik lebih
menitikberatkan pada hal berikut ini.
a.
Setiap masyarakat terus-menerus berubah.
b.
Setiap komponen masyarakat biasanya menunjang perubahan
masyarakat.
c.
Setiap masyarakat biasanya berada dalam ketegangan dan
konflik.
d.
Kestabilan sosial akan tergantung pada tekanan terhadap
golongan yang satu oleh golongan yang lainnya.
3.
Teori Fungsional ( Functionalist Theory )
Konsep yang berkembang dari teori ini adalah cultural lag
(kesenjangan budaya). Konsep ini mendukung Teori Fungsionalis untuk menjelaskan
bahwa perubahan sosial tidak lepas dari hubungan antara unsur-unsur kebudayaan
dalam masyarakat. Menurut teori ini, beberapa unsur kebudayaan bisa saja
berubah dengan sangat cepat sementara unsur yang lainnya tidak dapat mengikuti
kecepatan perubahan unsur tersebut. Maka, yang terjadi adalah ketertinggalan
unsur yang berubah secara perlahan tersebut. Ketertinggalan ini menyebabkan
kesenjangan sosial atau cultural lag .
Para penganut Teori Fungsionalis lebih menerima perubahan
sosial sebagai sesuatu yang konstan dan tidak memerlukan penjelasan. Perubahan dianggap sebagai suatu hal yang
mengacaukan keseimbangan masyarakat. Proses pengacauan ini berhenti pada saat
perubahan itu telah diintegrasikan dalam kebudayaan. Apabila perubahan itu ternyata bermanfaat, maka perubahan itu bersifat
fungsional dan akhirnya diterima oleh masyarakat, tetapi apabila terbukti
disfungsional atau tidak bermanfaat, perubahan akan ditolak. Tokoh dari teori
ini adalah William Ogburn.
Secara lebih ringkas, pandangan Teori Fungsional adalah
sebagai berikut.
a.
Setiap masyarakat relatif bersifat stabil.
b.
Setiap komponen masyarakat biasanya menunjang kestabilan
masyarakat.
c.
Setiap masyarakat biasanya relatif terintegrasi.
d.
Kestabilan sosial sangat tergantung pada kesepakatan bersama
(konsensus) di kalangan anggota kelompok masyarakat.
4.
Teori Siklus ( Cyclical Theory )
Teori ini mencoba melihat bahwa suatu
perubahan sosial itu tidak dapat dikendalikan sepenuhnya oleh siapapun dan oleh
apapun. Karena dalam setiap masyarakat terdapat perputaran atau siklus yang
harus diikutinya.
Menurut teori ini kebangkitan dan kemunduran suatu kebudayaan atau kehidupan
sosial merupakan hal yang wajar dan tidak dapat dihindari.
Sementara
itu, beberapa bentuk Teori Siklis adalah sebagai berikut:
a.
Teori Oswald Spengler (1880-1936)
Menurut teori ini, pertumbuhan manusia mengalami empat tahapan, yaitu anak-anak, remaja, dewasa, dan tua.
Pentahapan tersebut oleh Spengler digunakan untuk menjelaskan perkembangan
masyarakat, bahwa setiap peradaban besar mengalami proses kelahiran,
pertumbuhan, dan keruntuhan. Proses siklus ini memakan waktu sekitar seribu
tahun.
b.
Teori Pitirim A. Sorokin (1889-1968)
Sorokin berpandangan bahwa semua peradaban besar berada
dalam siklus tiga sistem kebudayaan yang berputar tanpa akhir. Siklus tiga sistem kebudayaan ini adalah
kebudayaan ideasional, idealistis, dan sensasi.
1)
Kebudayaan ideasional, yaitu kebudayaan yang didasari oleh
nilai-nilai dan kepercayaan terhadap kekuatan supranatural.
2)
Kebudayaan idealistis, yaitu kebudayaan di mana kepercayaan
terhadap unsur adikodrati (supranatural) dan rasionalitas yang berdasarkan
fakta bergabung dalam menciptakan masyarakat ideal.
3)
Kebudayaan sensasi, yaitu kebudayaan di mana sensasi
merupakan tolok ukur dari kenyataan dan tujuan hidup.
c.
Teori Arnold Toynbee (1889-1975)
Toynbee menilai bahwa peradaban besar berada dalam siklus kelahiran, pertumbuhan, keruntuhan, dan
akhirnya kematian. Beberapa peradaban besar menurut Toynbee telah mengalami
kepunahan kecuali peradaban Barat, yang dewasa ini beralih menuju ke tahap
kepunahannya. (http://luwesagustina.blogspot.com/2010/
11/ materi-perubahan-sosial.html)
5.
Teori
Linier (Teori Perkembangan)
Perubahan sosial budaya bersifat linier
atau berkembang menuju titik tertentu, dapat direncanakan atau diarahkan. Beberapa tokoh sosiologi mengemukakan tentang teori linier
yaitu:
a.
Emile Durkheim: Masyarakat berkembang dari solidaritas
mekanik ke solidaritas organic
b.
Max Weber : Masyarakat berubah secara linier dari masyarakat
yang diliputi oleh pemikiran mistik dan penuh tahayul menuju masyarakat yang
rasional
c.
Herbert Spencer : mengembangkan teori Darwin, bahwa orang-orang yang cakap yang akan memenangkan
perjuangan hidup
Ketiga
tokoh diatas menggambarkan bahwa setiap masyarakat berkembang melaui tahapan
yang pasti. Teori Linier dibedakan menjadi:
a.
Teori evolusi
Perubahan sosial budaya berlangsung sangat lambat dalam
jangka waktu lama.
Perubahan sosial budaya dari masyarakat primitif, tardisional dan bersahaja
menuju masyarakat modern yang kompleks dan maju secara bertahap
Comte
mengemukakan perkembangan masyarakat mengikuti perkembangan cara berfikir
masyarakat tersebut yaitu tahap teologi (khayalan), tahap metafisis (abstraksi)
dan tahap ilmiah (positif)
Sedangkan
Lenski berpendapat bahwa masyarakat berubah dari pra industri, industri dan
pasca industry.
Beberapa
teori Evolusi:
1)
Teori Evolusi Unilinear
Masyarakat mengalami
perkembangan sesuai dengan tahapan tertentu, berawal dari bentuk sederhana,
komplek hingga sempurna. Tokohnya antara lain, Comte, Spencer. Suatu Variasi dari
teori ini adalah Cylical theories dari Vilfredo Pareto
2)
Teori Evolusi Universal
Perkembangan masyarakat tidaklah perlu melalui tahapan
tertentu tetapi mengikuti suatu garis evolusi tertentu. Misal dari kelompok homogen ke
kelompok yang heterogen sifat dan susunannya (Herbert Spencer)
3)
Teori Evolusi Multilinear
Teori ini menekankan penelitian terhadap tahap perkembangan
yang tertentu dalam evolusi masyarakat, misal penelitian pengaruh sistem perubahan sistem mata
pencaharian dari berburu ke sistem pertanian atau terhadap sistem kekeluargaan
dalam masyarakat yang bersangkutan
b.
Teori Revolusi
Perubahan sosial menurut teori revolusi adalah perubahan
sosial budaya berlangsung secara drastic atau cepat yang mengarah pada sendi utama
kehidupan masyarakat (termasuk kembaga kemasyarakatan).
Karl Marx berpendapat bahwa masyarakat
berkembang secara linier dan bersifat revolusioner, dari yang bercorak feodal
lalu berubah revolusioner menjadi masyarakat kapitalis kemudian berubah menjadi
masyarakat sosialis – komunis yang merupakan puncak perkembangan masyarakat
Suatu revolusi dapat berlangsung dengan
didahului suatu pemberontakan (revolt rebellion). Adapun syarat revolusi adalah
:
1)
Ada keinginan umum mengadakan suatu perubahan
2)
adanya kelompok yang dianggap mampu memimpin masyarakat
3)
pemimpin harus mampu manampung keinginan masyarakat
4)
pemimpin menunjukkan suatu tujuan yang konkret dan dapat
dilihat masyarakat
5)
adanya momentum untuk
revolusi
6.
Teori Ekuilibrium
Pendekatan
ekuilibrium menyatakan bahwa terjadinya perubahan sosial dalam suatu masyarakat
adalah karena terganggunya keseimbangan di antara unsur-unsur dalam sistem
sosial di kalangan masyarakat yang bersangkutan, baik karena adanya dorongan
dari faktor lingkungan (ekstern) sehingga memerlukan penyesuaian (adaptasi)
dalam sistem sosial, seperti yang dijelaskan oleh Talcott Parsons, maupun
karena terjadinya ketidakseimbangan internal seperti yang dijelaskan dengan
Teori kesenjangan Budaya (cultural lag)
oleh William F. Ogburn (Tokoh yang juga menjelaskan mengenai teori materialis).
Teori ekuilibrium yang
dijelaskan diatas cenderung mengatakan bahwa perubahan sosial dikarenakan
adanya salah satu bagian sistem yang tidak berfungsi dengan baik. Dalam pendekatan ini perubahan
sosial berjalan dengan lambat dan perubahan sosial diatur dan dikendalikan oleh
struktur yang ada (behind design) atau
rekayasa sosial.
Secara
eksplisit pendekatan ini tidak menginginkan adanya perubahan sosial, dibukti
dengan adanya keharus aktor atau institusi sosial untuk memiliki prinsip
Adaptasi, Gold, Integrasi, (AGIL) dalam sistem sosial. Keseimbangan sistem
dibutuhkan dalam mencapai tujuan bersama.
7.
Teori Materialis (Materialist Theory)
Teori
Materialis disampaikan oleh William F. Ogburn. Inti dari teori ini adalah bahwa:
1.
Penyebab dari perubahan adalah adanya ketidakpuasan
masyarakat karena kondisi sosial yang berlaku pada masa yang mempengaruhi
pribadi mereka.
2.
Meskipun unsur-unsur
sosial satu sama lain terdapat hubungan yang berkesinambungan, namun dalam
perubahan ternyata masih ada sebagian yang mengalami perubahan tetapi sebagian
yang lain masih dalam keadaan tetap (statis). Hal ini juga disebut dengan
istilah cultural lag, ketertinggalan menjadikan kesenjangan antar
unsur-unsur yang berubah sangat cepat dan yang berubah lambat. Kesenjangan ini
akan menyebabkan kejutan sosial pada masyarakat. Ketertinggalan budaya
menggambarkan bagaimana beberapa unsur kebudayaan tertinggal di belakang
perubahan yang bersumber pada penciptaan, penemuan dan difusi. Teknologi,
menurut Ogburn, berubah terlebih dahulu, sedangkan kebudayaan berubah paling
akhir. Dengan kata lain kita berusaha mengjar teknologi yang terus menerus
berubah dengan mengadaptasi adat dan cara hidup kita untuk memenuhi kebutuhan
teknologi. Teknologi menyebabkan terjadinya perubahan sosial cepat yang
sekarang melanda dunia.
3.
Perubahan teknologi
akan lebih cepat dibanding dengan perubahan pada perubahan budaya, pemikiran,
kepercayaan, nilai-nilai, norma-norma yang menjadi alat untuk mengatur
kehidupan manusia. Oleh karena itu, perubahan seringkali menghasilkan kejutan
sosial yang yang apada gilirannya akan memunculkan pola-pola perilaku baru, meskipun
terjadi konflik dengan nilai-nilai tradisional.
8.
Teori Modernisasi
Pendekatan
modernisasi yang dipelopori oleh Wilbert More, Marion Levy, dan Neil Smelser,
pada dasarnya merupakan pengembangan dari pikiran-pikiran Talcott Parsons, dengan menitikberatkan pandangannya pada
kemajuan teknologi yang mendorong modernisasi dan industrialisasi dalam
pembangunan ekonomi masyarakat. Hal ini mendorong terjadinya
perubahan-perubahan yang besar dan nyata dalam berbagai aspek kehidupan
masyarakat termasuk perubahan dalam organisasi atau kelembagaan masyarakat. (http://ayouk91.blogspot.com/2010/11/teori-perubahan-sosial-budaya-oleh.html)
D. Hal-hal Yang Berkaitan Dengan Perubahan Sosial
Budaya
1. Bentuk-bentuk perubahan sosial budaya
a.
Perubahan Lambat dan
Perubahan Cepat
Perubahan lambat disebut juga evolusi.
Perubahan tersebut terjadi karena usaha-usaha masyarakat dalam menyesuaikan
diri dengan keadaan lingkungan dan kondisi-kondisi baru yang timbul sejalan
dengan pertumbuhan masyarakat. Contoh perubahan evolusi adalah perubahan pada
struktur masyarakat. Suatu masyarakat pada masa tertentu bentuknya sangat
sederhana, namun karena masyarakat mengalami perkembangan, maka bentuk yang sederhana
tersebut akan berubah menjadi kompleks.
Perubahan cepat disebut juga dengan
revolusi, yaitu perubahan sosial mengenai unsur-unsur kehidupan atau
lembaga-lembaga kemasyarakatan yang berlangsung relatif cepat. Seringkali
perubahan revolusi diawali oleh munculnya konflik atau ketegangan dalam
masyarakat, ketegangan-ketegangan tersebut sulit dihindari bahkan semakin
berkembang dan tidak dapat dikendalikan. Terjadinya proses revolusi memerlukan
persyaratan tertentu.
Berikut ini beberapa persyaratan yang mendukung
terciptanya revolusi:
1)
Ada keinginan umum untuk mengadakan
suatu perubahan.
2)
Adanya seorang pemimpin atau sekelompok
orang yang mampu memimpin masyarakat tersebut
3)
Harus bisa memanfaatkan momentum untuk
melaksanakan revolusi.
4)
Harus ada tujuan gerakan yang jelas dan
dapat ditunjukkan kepada rakyat.
5)
Kemampuan pemimpin dalam menampung,
merumuskan, serta menegaskan rasa tidak puas masyarakat dan keinginan-keinginan
yang diharapkan untuk dijadikan program dan arah gerakan revolusi.
Contoh perubahan secara revolusi adalah
gerakan Revolusi Islam Iran pada tahun 1978-1979 yang berhasil menjatuhkan
pemerintahan Syah Mohammad Reza Pahlevi yang otoriter dan mengubah sistem
pemerintahan monarki menjadi sistem Republik Islam dengan Ayatullah Khomeini
sebagai pemimpinnya.
Perubahan kecil adalah perubahan yang
terjadi pada unsur-unsur struktur sosial yang tidak membawa pengaruh langsung
atau pengaruh yang berarti bagi masyarakat. Contoh perubahan kecil adalah
perubahan mode rambut atau perubahan mode pakaian.
Sebaliknya, perubahan besar adalah
perubahan yang terjadi pada unsur-unsur struktur sosial yang membawa pengaruh
langsung atau pengaruh berarti bagi masyarakat. Contoh perubahan besar adalah
dampak ledakan penduduk dan dampak industrialisasi bagi pola kehidupan masyarakat.
c.
Perubahan yang
Dikehendaki (Direncanakan)
dan Perubahan yang Tidak Dikehendaki (Tidak Direncanakan)
Perubahan yang dikehendaki atau yang
direncanakan merupakan perubahan yang telah diperkirakan atau direncanakan
terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang hendak melakukan perubahan di masyarakat.
Pihak-pihak tersebut dinamakan agent of change, yaitu seseorang atau sekelompok
orang yang mendapat kepercayaan masyarakat untuk memimpin satu atau lebih
lembaga-lembaga kemasyarakatan yang bertujuan untuk mengubah suatu sistem
sosial. Contoh perubahan yang dikehendaki adalah pelaksanaan pembangunan atau
perubahan tatanan pemerintahan, misalnya perubahan tata pemerintahan Orde Baru
menjadi tata pemerintahan Orde Reformasi.
Perubahan yang tidak dikehendaki atau
yang tidak direncanakan merupakan perubahan yang terjadi di luar jangkauan
pengawasan masyarakat dan dapat menyebabkan timbulnya akibat-akibat sosial yang
tidak diharapkan. Contoh perubahan yang tidak dikehendaki atau tidak
direncanakan adalah munculnya berbagai peristiwa kerusuhan menjelang masa
peralihan tatanan Orde Lama ke Orde Baru dan peralihan tatanan Orde Baru ke
Orde Reformasi. (http://www.anneahira.com/bentuk-bentuk-perubahan-sosial.htm)
2.
Faktor yang menyebabkan
perubahan sosial budaya
a.
Faktor intern, antara lain:
1)
Bertambah dan berkurangnya penduduk
(kelahiran, kematian, migrasi)
2)
Adanya Penemuan Baru:
a)
Discovery: penemuan ide atau alat baru
yang sebelumnya belum pernah ada
b)
Invention : penyempurnaan penemuan baru
c)
Innovation /Inovasi: pembaruan atau
penemuan baru yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat sehingga menambah,
melengkapi atau mengganti yang telah ada.
Penemuan baru didorong oleh: kesadaran
masyarakat akan kekurangan unsure dalam kehidupannya, kualitas ahli atau
anggota masyarakat
3)
Konflik yang terjadii dalam masyarakat
4)
Pemberontakan atau revolusi
b.
Faktor
ekstern,
antara lain:
1)
perubahan alam atau lingkungan fisik di
sekitar manusia
2)
peperangan dengan negara lain
3)
pengaruh kebudayaan lain melalui difusi (penyebaran
kebudayaan), akulturasi ( pembauran antar budaya yang masih terlihat
masing-masing sifat khasnya), asimilasi (pembauran antar budaya yang
menghasilkan budaya yang sama sekali baru batas budaya lama tidak tampak lagi)
3.
Faktor yang mempengaruhi
jalannya proses perubahan sosial budaya
a.
Faktor pendorong
1)
Kontak dengan kebudayaan lain
a)
difusi intra masyarakat
b)
difusi antar masyarakat
2)
Sistem pendidikan formal yang maju
3)
Sikap menghargai hasil karya seseorang dan
keinginan untuk maju
4)
Toleransi terhadap perbuatan yang menyimpang dan
bukan merupakan delik
5)
Sistem lapisan masyarakat terbuka
6)
Penduduk yang heterogen
7)
Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang –bidang
kehidupan tertentu
8)
Oreintasi ke masa depan
9)
Nilai bahwa manusia harus senantiasa berikhtiar
untuk memperbaiki hidupnya
b.
Faktor penghambat
1)
Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain
2)
Perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat
3)
Sikap masyarakat yang sangat tradisional
4)
Adanya kepentingan-kepentingan yang telah
tertanam dengan kuat atau vested interest
5)
Rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada
integrasi kebudayaan
6)
Prasangka terhadap hal-hal yang baru atau asing
atau sikap tertutup
7)
Hambatan–hambatan yang bersifat ideologis
8)
Adat atau kebiasaan
9)
Nilai bahwa hidup ini pada hakekatnya buruk dan
tidak mungkin diperbaiki (http://www.crayonpedia.org/mw/BSE:Perubahan_Sosial_Budaya_Dalam_Masyarakat_9.1%28BAB5%29)
BAB III
KESIMPULAN
Perubahan sosial budaya adalah perubahan yang mencakup hampir semua
aspek kehidupan sosial dan budaya dari suatu masyarakat atau komunitas. Acapkali tidak mudah untuk menentukan letak
garis pemisah antara perubahan sosial dan perubahan kebudayaan. Akan tetapi, perubahan sosial dan budaya
mempunyai satu aspek yang sama yaitu kedua-duanya memiliki keterikataan dengan
suatu penerimaan dari cara baru atau suatu perbaikan dari cara masyarakat dalam
memenuhi kebutuhannya.
Proses Perubahan Sosial Budaya, diawali dengan penyesuaian
masyarakat terhadap perubahan yang terjadi, kemudian dilanjutkan dengan saluran-saluran
perubahan sosial budaya (avenue or
channel of change), dimana lembaga kemasyarakatan memiliki peran yang amat
penting. Proses selanjutnya yaitu Disorganisasi
(disintegrasi) dan reorganisasi (reintegrasi).
Teori mengenai perubahan sosial budaya antara lain yaitu:
Teori evolusi, teori konflik, teori fungsional, teori siklus, teori linier (teori
perkembangan) teori ekuilibrium, teori materialis (materialist theory) dan teori modernisasi.
Mengenai hal-hal yang berkaitan dengan perubahan sosial
budaya, di dalamnya terdapat bentuk, faktor pendorong, faktor penghambat dan
faktor penyebab timbulnya perubahan sosial budaya di dalam masyarakat.
Mengenai relasi antara pendidikan dan perubahan sosial
budaya adalah saling berintegrasi. Posisi pendidikan dalam perubahan social sesuai
dengan pernyataan Eisenstadt, institusionalisasi merupakan proses penting untuk
membantu berlangsungnya transformasi potensi-potensi umum perubahan sehingga
menjadi kenyataan sejarah. Dan pendidikanlah yang menjadi salah satu institusi
yang terlibat dalam proses tersebut. Pendidikan adalah suatu institusi
pengkonservasian yang berupaya menjembatani dan memelihara warisan-warisan
budaya masyarakat. Disamping itu pendidikan berfungsi untuk mengurangi
kepincangan yang terjadi dalam masyarakat. Pendidikan harus dipandang sebagai
institusi penyiapan anak didik untuk mengenali hidup dan kehidupan itu sendiri,
jadi bukan untuk belajar tentang keilmuan dan keterampilan karenanya yang
terpenting bukanlah mengembangkan aspek intelektual tetapi lebih pada pengembagan
wawasan, minat dan pemahaman terhadap lingkungan social budayanya.
Daftar Pustaka
http://ayouk91.blogspot.com/2010/11/teori-perubahan-sosial-budaya-oleh.html/
22 Februari 2012/ 14.03 WIB
www.blogspot.com./perubahan sosial budaya « cafestudi061′s weblog.html/ 24
Februari 2012/ 10.43 WIB
http://luwesagustina.blogspot.com/2010/11/materi-perubahan-sosial.html/
23 Februari 2012/ 15.33 WIB
http://nanang-martono.blog.unsoed.ac.id/?p=696/
24 Februari 2012/ 11.06 WIB
http://prasetyowidi.wordpress.com/2010/01/03/definisi-perubahan-sosial-dan-tipe-tipe-perubahan-sosial/24
Februari 2012/ 09.57 WIB
http://waterforgeo.blogspot.com/2011/04/proses-proses-perubahan-sosial-budaya.html/
23 Februari 2012/ 15.08 WIB
http://www.anneahira.com/bentuk-bentuk-perubahan-sosial.html/
24 Februari 2012/ 14.23 WIB
http://www.crayonpedia.org/mw/BSE:Perubahan_Sosial_Budaya_Dalam_Masyarakat_9.1_%28BAB_5%29/22
Februari 2012/ 13.43 WIB
http://www.gudangmateri.com/2011/02/pengertian-dan-bentuk-perubahan-sosial.html/
22 Februari 2012/ 13.28 WIB
Soerjono
Soekanto. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar.
Jakarta: Rajawali Pers.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar