DIFERENSIASI KEBEBASAN
AKADEMIK
DI BARAT DAN DI INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Hubungan
kerjasama antara negara-negara
berkembang dan negara-negara maju memang sedang digalakkan. Satu sisi mereka mendapatkan keuntungan dari kerjasama
tersebut, namun di sisi lain mereka harus berhadapan dengan beraneka ragam
tantangan ideologi, politik, sosial dan budaya.
Kepercayaan, mentalitas, tradisi, dan tatanan sosial yang berbeda dalam
kehidupan antar bangsa adalah beberapa faktor yang ikut menetukan tingkat
kedalaman tantangan ataupun konflik yang muncul.
Aneka
konfrontasi maupun kerjaasama antar bangsa kerap dilakukan. Kini, tantangan yang terbentang semakin
berat, kerjasama dan saling pengertian antar negara menjadi masalah yang amat
penting, apabila terjadi kesalahan atau kesalahpahaman persoalan ini dapat
menimbulkan pertikaian.
Tak
terkecuali dengan Indonesia, Indonesia juga melakukan hubungan kerjasama baik
dengan negara-negara lain di Asia maupun dengan dunia Barat. Hubungan kerjasama dengan dunia Barat memang
telah terjalin sejak lama dan di berbagai bidang, antara lain sosial, politik,
ekonomi, budaya, pertahanan, dan keamanan tak terkecuali di bidang
pendidikan.
Tak
perlu dielakkan lagi, peradaban modern berakar dalam sistem pendidikan tinggi,
dalam hal ini Barat adalah yang terdepan.
Setiap tahun masyarakat Indonesia yang menimba ilmu ke negeri Barat,
jumlahnya semakin lama semakin bertambah. Tentu saja hal ini secara
kontradiktif, sistem ini bisa menjadi sumber konflik kultural dalam realitas
masyarakat, karena di dalamnya sekaligus mewariskan jejak tradisi yang berlainan
dari generasi Indonesia, yang tidak memiliki struktur sosial, budaya, dan
tradisi yang sama dengan Barat.
Namun,
banyak dari kalangan ilmuwan yang tidak menyadari kenyataan ini bahwa mereka
tidak hanya sekedar membawa pengetahuan, tetapi juga terbekali oleh budaya yang
terkandung di dalam pengetahuan itu, (sedikit demi sedikit mereka terperangkap
dalam konflik, antara dunia mereka sendiri dan tendensi-tendensi liberal Barat
yang tersembunyi). Oleh sebab itu, maka
makalah ini akan membahas dan menunjukkan perbedaan antara Indonesia dengan
dunia Barat, khususnya dalam konsep kebebasan akademi.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan hakekat kebebasan?
2.
Apa yang
terjadi dengan kebebasan akademik dari era nusantara ke Indonesia?
3.
Bagaimana
sejarah terciptanya kebebasan akademik di dunia Barat?
4.
Apa saja
perbedaan Indonesia dengan dunia Barat di bidang kebebasan akademik?
5.
Apa saja
pengaruh positif dan negatif dari kebebasan akademik?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui definisi dan hal-hal yang berkaitan
dengan hakekat kebebasan
2.
Mengetahui Apa yang terjadi dengan kebebasan akademik dari era nusantara ke Indonesia
3.
Mengetahui sejarah terciptanya kebebasan akademik di dunia Barat
4.
Mengetahui perbedaan Indonesia dengan dunia Barat di bidang kebebasan akademik
5.
Mengetahui pengaruh positif dan negatif dari kebebasan akademik
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hakekat Kebebasan
1.
Kebebasan dan Manusia
Kebebasan
memiliki pengertian yang luas dan konsep yang berbeda-beda, antara masyarakat
yang satu dengan masyarakat yang lain, dari pergantian masa ke masa
berikutnya. Pemahaman dan pengertian
kebebasan dalam suatu masyarakat atau tahapan sejarah tertentu tidak mungkin
sama dengan dan sebangun dengan masyarakat atau tahapan sejaran yang lain.
Konsep
kebebasan dalam sejarahnya selalui mengalami suatu perubahan. Kebebasan sering dikaitkan dengan sifat dan
bentuk-bentuk kediktatoran ataupun anarki yang telah menelan banyak korban
seperti yang telah kita ketahui melalui catatan-catatan sejarah pada masa
lampau. Rudolf Steiner menyumbangkan filsafat kebebasan, gagasannya
yaitu:
Pertama,
Rudolf menunjuk adanya dua realita: yaitu manusia dan di luar manusia. Manusia
dilengkapi kemampuan yang disebut sensory perceptions
untuk mengakses realita di
luar dirinya yang beragam (alam, tumbuhan, binatang, orang lain). Namun
persepsi yang tersensor ini juga dipengaruhi
oleh tujuh instansi/level motives yaitu: reflexes, drives, desires, motifs,
wishes, intentions, and commitments.
Dengan kombinasi berbagai level itu,
manusia memproduksi berbagai persepsi yang tersensor untuk memaknai dunia luar
dan dirinya, (consciousness). Karena tersensor, persepsi itu menghasilkan
sebuah dunia pemahaman yang penuh kontradiksi, dualitas, polarisasi.
Pada titik itu, hebatnya manusia, muncul
fenomena kehendak bebas, yaitu kemampuan dalam diri manusia untuk membuat
pilihan-piliahan dan lalu menciptakan sintesa kreatif atas persepsi yang
berbeda-beda. Oleh
Rudolf kemampuan itu disebut kehendak bebas (free-will).
Dengan kata lain, kehendak bebas hanya
muncul dalam kontradiksi-kontradiksi. Tanpa kontradiksi tidak ada wilayah untuk
melakukan eksplorasi kebebasan. Sintesa berbagai persepsi yang berasal dari
kebebasan itu diperlukan agar manusia tidak terpecah belah jati dirinya.
Sintesa persepsi itu disebut moral imagination, sebuah rangkaian
keputusan atau pilihan yang betul-betul personal atau subyektif.
Dalam pengertian itu, otoritas moral tidak
lagi berada pada masyarakat, keluarga atau sebuah teks suci, tetapi dalam hati
sanubari seorang individu. Segala petunjuk, perintah, guidance dari
otoritas di luar diri manusia, seolah menjadi sumbangan saja, dan diri manusia
sendirilah yang mengambil keputusan berlaku tidaknya bagi dirinya
sendiri.
Kedua, sampai di titik itu moral
imagination merupakan hasil kerja yang seolah berada dalam hati dan budi
individual. Selanjutnya Rudolf mengamati peran ego, yang mempunyai
“kehendak untuk bertindak” dalam diri manusia untuk mempengaruhi dunia di luar
dirinya, berpangkal dari imaginasi moral yang yang sudah dimilikinya. Ego yang
hendak mengkomunikasikan dirinya itu disebutnya self-awareness
Dalam arti itu, muncul tindakan yang
sungguh bebas, atau kebebasan. Kebebasan lalu berarti segala ragam tindakan
yang diambil berdasarkan kehendak bebas yang didasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan moral imagination seseorang. Maka kebebasan
dalam arti itu dengan sendirinya selalu dan sama dengan kebebasan yang dapat
dipertanggungjawabkan. Yakni, dapat dipertanggungjawabkan dengan menggunakan
perangkat moral imaginationnya.
Tetapi hendaknya kita berhati-hati
menggunakan istilah “kebebasan yang bertanggungjawab” yang sering secara
instinktif, diartikan sebagai tanggungjawab yang didasarkan pada otoritas di
luar dirinya (peraturan, teks, ideologi, kepercayaan, nilai-nilai kelompok atau masyarakat
atau suku dan sebagainya),
karena istilah itu rawan manipulasi.
Moral imangination dengan
sendirinya akan mencapai bentuk yang tertinggi, manakala manusia dibantu dan
mampu membebaskan diri dari instink naturalnya dan dari tekanan kelompok, dari
prasangka-prasangka yang diwariskan oleh keluarga, suku, kelompok agamanya dan
sebagainya.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa tindakan yang betul-betul bebas (self-awareness) hanya mungkin terjadi bila berpangkal dari sintesa persepsi yang disebut moral imagination. Imaginasi moral ini merupakan konstruksi kreatif dari kontradiksi-kontradiksi yang di temui manusia ketika manusia mendapat kesempatan untuk meneliti motif-motif mana yang bekerja dan mempengaruhi dirinya. Kontradiksi-kontradiksi itu hanya muncul karena persepsi kita tersensor oleh berbagai motif, baik naluriah maupun warisan-warisan prasangka. (http://kangadhiblogspot.com/Refleksi- Filosofis- tentang Kebebasan-(sumbangan untuk Kang Ismail)/Desember 23, 2006.html.)
2.
Macam-macam kebebasan
Dewasa ini, mengkategorikan segala sesuatu
memang mudah dan sering dilakukan, tak terkecuali dengan kebebasan. Antara lain yaitu: kebebasan berbicara dan berpendapat, kebebasan
pers, kebebasan beragam, kebebasan akademi, kebebasan politik, kebebasan
berpendapat, dan lain-lain.
Kebebasan berbicara dan berpendapat adalah hak
semua orang atau kelompok untuk mengemukakan gagasan dan mengeluarkan pikiran
baik lisan maupun tulisan ke khalayak umum.
Di Indonesia kebebasan ini diatur oleh UUD 1945, Pasal 28, bahwa
kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang. Lebih lanjut pengertian
kemerdekaan mengemukakan pendapat dinyatakan dalam pasal 1 (1) UU No.9 Tahun
1998, bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara
untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas
dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Undang-undang yang mengatur kemerdekaan mengemukakan pendapat antara
lain diatur dengan Undang-undang No.9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan
menyampaikan pendapat di Muka Umum. Pengertian di muka umum adalah di hadapan
orang banyak atau oarang lain, termasuk tempat yang dapat didatangi dan/ atau
dilihat setiap orang. (http://cheperblogspot.com/Nurrachman-kebebasan-akademik/kemerdeka -mengemukakan-pendapat.html)
Kebebasan
pers diidentikkan pula dengan kemerdekaan informasi, atau dapat pula
digambarkan sebagai kebebasan penerbitan tanpa adanya hambatan dan tanpa
mempertimbangkan akibat-akibat hukumnya.
Kebebasan pers di Indonesia juga tampak dari diamandemenkannya Pasal 28
UUD 1945, serta adanya Kode Etik Jurnalistik (KEJ), Kode
Etik Perusahaan Pers serta Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia.
Kebebasan politik
dapat dilukiskan sebagai hak individu dan kelompok untuk menentukan atau
berpartisipasi dalam kancah politik.
Sedangkan kebebasan beragama dapat diartikan sebagai hak utnuk memluk
suatu kepercayaan dan melakukan suatu peribadatan dengan bebas, tanpa perlu
merasa khawatir. (Ahmed O. Altwajri, 1997:34)
3.
Kebebasan akademik
Kebebasan akademik tidak memiliki definisi
universal. Point dari kebebasan akademik
adalah menyangkut masalah kebebasan seseorang yang terlibat dalam dunia
akademi, yaitu para dosen, mahasiswa atau seluruh civitas akademi untuk
mewujudkan kebebasan badan-badan dan lembaga-lembaga akademi.
Definisi kebebasan akademi menurut para pakarnya:
a.
Encyclopedia
of Religion
…tidak ada pembatasan, hukuman dan intimidasi berkaitan dengan kegiatan
tradisional insan akademi, terutama yang menyangkut studi dan
penelitian-penelitian yang dilakukan, mengutarakan pandangan, hasil-hasil
temuan dan opini yang diyakini, melalui lisan atau publikasi, betapapun
dianggap usang ataupun bercorak subversif, bijaksana ataupun kolot.
b.
W.T. Couch
…prinsip yang dirancang untuk melindungi guru dari aneka bahaya (resiko)
yang cenderung mencegah atau menghambat kewajiban-kewajiban yang ia pikul di
tengah medan pencarian kebenaran.
c.
Islam
Kebebasan akademi sebagai hak perseorangan dan lembaga-lembaga yang ada
untuk belajar, mengajar, mengadakan penelitian dan menyebarkan
penemuan-penemuan serta kesimpulan-kesimpulan dengan cara lisan maupun tulisan
dengan tetap terikat pada hukum dan moral yang ditetapkan oleh Syariah Islam
atau hukum Allah.
d.
Menurut PP No. 60 Tahun 1999,
Kebebasan akadernik
merupakan kebebasan yang dimiliki oleh anggota sivitas akademika untuk
melaksanakan kegiatan yang terkait dengan pendidikan dan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi secara bertanggungjawab dan mandiri.
e.
Arthur Lovejoy
Kebebasan akademik adalah
kebebasan seseorang atau seorang peneliti di lembaga 11mu. pengetahuan untuk
mengkaji persoalan serta mengutarakan kesimpulannya baik melalui penerbitan
atau perkuliahan tanpa campur tangan dari penguasa politik atau keagamaan atau
dan lembaga yang memperkerjakannya kecuali apabila metode yang digunakannya
tidak memadai atau bertentangan dengan etika professional atau lembaga yang
berwenang dalam bidang keilmuannya.
f.
Nymeyer (1956)
Kebebasan akademik adalah
kebebasan anggota fakultas untuk mengajar pada suatu sekolah dengan pikirannya
sendiri dan mempromosikan spekulasi dan kesimpulan yang dibuat secara
independen atau. bebas dari apa yang mungkin institusi kehendaki. (http;//uripsantosoblogspot.com.//kebebasan-akademik/-konsep-dan-model-kebebasan-akademis-diperguruan-tinggi.html)
Kebebasan akademik ini
mempunyai banyak manfaat anatara lain yaitu:
a.
Mempercepat transfer ipteks.
b.
Mempercepat pengembangan ipteks
c.
Membantu memecahkan problema di masyarakat (menjawab
permasalahan masyarakat).
d.
Membantu masyarakat berpikir, memahami dan
bertindak.
e.
Pada gilirannya mampu mendorong kearah kemajuan
dan keseiahteraan masyarakat.
f.
Kebebasan akademik akan melahirkan masyarakat
beradab dimana nilai nilai kemanusiaan mendapat tempat tertinggi, subyektivitas
individu diakui, setiap individu
menyadari tanggung jawabnya terhadap diri dan masyarakat, dengan hukum sebagai
sumber aturannya dan kepentingan bersama adalah tujuannya.
g.
Hal ini akan mendorong atau mempercepat
pelaksanaan demokrasi di masyarakat. Demokrasi mendambakan manusia manusia
kritis, rasional,antiabsolutisme, yang mengharhai pluralitas individu dengan dialog
sebagai jalan kompromi
h.
Menumbuh dewasakan kadar intelektual, emosional
dan spiritual manusia.
i.
Menjaga nilai nilai masyarakat dan kebenaran
universal.
j.
Menumbuh kembangkan kepeloporan dan keteladanan
dari para cendekiawan dan calon cendekiawan, sehingga, erosi moral dapat
diatasi.
k.
Menghasilkan para sarjana sebagai pencipta kerja
bukan sebagai pencari kerja.
l.
Menumbuhkan perubahan dan pembaharuan yang sangat
radikal di masyarakat.
m.
Sarana bagi pengembangan masyarakat yang
berbasis ipteks. Oleh sebab itu, pembelajaran dan penclitian menjadi komponen
penting dari pembangunan berkelanjutan dari kebudayaan, sosio ekonomi dan
lingkungan dari orang seorang, komunitas dan bangsa. (http://www.BudiHermanablogspot.com//kebebasanakademik/Blog-Archive
» Kebebasan Akademik dan Otonomi Keilmuan.htm)
Di Indonesia, peraturan dan perundangan
mengenai kebebasan akademik tercantum di PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang
Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, PP Nomor 37 Tahun 2009 tentang Dosen, dan Peraturan
Pemenintah Republik Indonesia No. 60 Tahun 1999 tentang Perguruan Tinggi pada
Bab VI pasal 17 dan 20.
B.
Kebebasan Akademik Dari Era Nusantara Ke
Indonesia
Kebebasan akademik di Indonesia sesungguhnya
telah ada jauh hari semenjak jaman kerajaan, terbukti dari fakta sejarah, di
masing-masing periode peradaban di nusantara telah banyak melahirkan ilmuwan,
pujangga bahkan futurolog seperti Jaya Baya di masa kerajaan Airlangga atau
pujanggga Ronggowarsita di jaman Kasunanan Surakarta.
Di era kolonial pun dunia akademik relatif
mendapat kebebasan yang proporsional selama tidak terkait dengan persoalan
hegemoni kekuasaan pihak imperialis di nusantara. Sebut saja praktek politik etis oleh
kolonialisme Belanda bagi bumi putera di Hindia Belanda dengan memberikan
beasiswa pendidikan bagi anak-anak bangsawan entah di Hindia Belanda sendiri
atau menempuh pendidikan di Belanda.
Pada periode ini muncul para ilmuwan antara lain: Moh. Hatta, Douwes
Dekker, Wahidin Sudirohusodo, Ki Hadjar Dewantara, dan Soekarno.
Semua ini menunjukkan kebebasan akademik telah
ada di Nusantara jauh sebelum dibentuknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Pada periode kemerdekaan
hingga jaman Orde Lama kebebasan akademik pun masih dinikmati oleh kalangan-kalangan
yang concern dalam dunia pendidikan. Di
era ini, jarang terdengar terjadinya pembungkaman dalam dunia akademik. Catatan kelam persoalan kebebasan akademik
mulai dirasakan di puncak masa otorianisme Orde Baru.
Memang, di era puncak otoriter Orde Baru banyak
capaian gemilang sebagai prestasi rencana pembangunan lima tahun (Repelita)
seperti swasembada pangan, pemerataan akses listrik, infrastruktur jalan, dan
pertanian, stabilitas ekonomi dan sosial.
Namun, atas nama menjaga stabilitas politik, pertahanan dan keamanan
membawa konsekuensi fatal dalam dunia akademik.
Atas pertimbangan mengamankan ideologi Pancasila
Pemerintah otoriter Orde Baru kerap kali membungkam kebebasan akademik, proses
kontrol terhadap dunia akademik diterjemahkan dari level kurikulum hingga
sistem pendidikan. Pada konteks ini
sebut saja dilaksanakannya ideologisasi Pancasila sejak pendidikan dasar dengan
mata pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) hingga mata kuliah Pendidikan
Pancasila di dunia Perguruan Tinggi serta dilaksanakannya penataran P4 dari
level SMP hingga Perguruan Tinggi.
Di luar kampus, pembungkaman terhadap dunia
akademik gencar dilakukan Orde Baru antara lain dilakukan pencekalan dan
pembubaran setiap forum ilmiah yang dianggap membahayakan eksistensi kekuasaan Orde
Baru, seperti di bubarkannya seminar, diskusi, bahkan pembredelan terhadap
media massa cetak yang kritis dan pelarangan buku yang berhaluan kiri, seperti
buku-buku Pramudia Anantha Tur, Karl Marx dan sebagainya.
Seiring dinamika sosial politik di Indonesia
maka berubah pula situasi kebebasan akademik.
Tumbangnya rezim Orde Baru dan munculnya rezim baru telah membuka
kembali kebebasan akademik di Indonesia antara lain bebasnya kalangan akademis
dan ilmuwan mengekspresikan ide keilmuwan sekalipun bertentangan dengan etika
sosial. Demikian juga kebebasan akademik
di luar kampus, didapatkan dengan mudahnya seperti bermunculan media massa
cetak dan elektronik, dunia LSM bergerak dengan mudahnya, forum-forum ilmiah
seperti seminar dan diskusi, workshop dan pelatihan, dilaksanakan tidak harus
mengajukan izin ke kepolisian atau Ditsospol.
C.
Sejarah Terciptanya Kebebasan Akademik Di Barat
Berikut ini sejarah singkat terciptanya kebebasan akademik di Barat dari
masa ke masa:
a.
Yunani
Peradaban Yunani telah mewariskan peradabannya
ke Barat, sehingga memunculkan beraneka ragam konsep filsafat, terutama konsep
kebebasan. Di masa-masa puncak peradapan
Yunani, banyak tempat menjadi pusat kegiatan intelektual, diantaranya adalah
Athena dan Ionia. Ionia merupakan tempat
kelahiran pemikiran bebas. Sejarah ilmu
pengetahuan dan filsafat Eropa bermula dari Ionia ini. Hubungan antara peradaban Yunani dan peradaban
Barat modern sangatlah erat.
Peradaban Yunani memberikan warisan untuk
peradaban Barat yaitu dua tradisi pada pemikiran Barat. Pertama, yaitu kepercayaan terhadap kemampuan
akal dan pemikiran dalam menjelaskan segenap gejala yang ada. Kedua, yaitu pemisahan agama dari segenap
ilmu pengetahuan,serta pemisahan agama dari lembaga-lembaga sosial dan politik.
b.
Abad Pertengahan
Abad pertengahan ini menunjukkan
keterbelakangan dan penindasan aneka kebebasan, kebuasan dan teror
keagamaan. Pada masa ini, Gereja tumbuh
kokoh dan mendominasi kehidupan Barat sampai sepuluh abad berikutnya. Selain itu, hilangnya semangat toleransi pun
terjadi, intoleransi itu tidak terbatas pada agama saja, tetapi juga pada
sebagian besar aspek kegiatan pemikiran.
Pemberian hukuman yang keji dan ekstrim terhadap orang-orang yang
dicurigai serta dituduh tidak sejalan dengan dogma Gereja adalah corak reputasi
Abad Pertengahan yang mengerikan. Hal
ini menimbulkan dogma bagi Barat yaitu, apabila lahir suatu kemajuan atau
perkembangan, maka gereja dan ilmu pengetahuan mesti dipisahkan.
c.
Renaissance dan Pencerahan
Renaissance bermula pada Abad ke 14, yang
dilakukan secara hati-hati dan penuh waspada (tertutup), bukan dengan cara
melakukan pemberontakan secara terbuka.
Renaissance merupakan suatu masa perkembangan keilmuan dan emansipasi
pemikiran, minat dalam seluruh aspek kehidupan lambat laun menggantikan suasana
sempit yang ditampilkan oleh gereja.
Renaissance mencapai puncaknya selama masa pencerahan. Materialisme, rasionalisme dan empirisme
mengukuhkan diri sebagai pengganti kekeuasaan ortodoks dan pemikiran pendeta,
sementara akal meraih kembali kejayaannya.
Pengalaman Eropa selama perode-periode
Renaissance dan Pencerahan menlahirkan asumsi-asumsi baru dalam benak Barat,
yaitu;
1)
Kebebasan
pemikiran dan kemajuan keilmuan tak akan tergayuh keccuali dengan menudukkan
Gereja dan mencabut dominasi agama tradisional
2)
Penemuan-penemuan
keilmuan berlawanan dengan beberapa pemikiran keagamaan
3)
Ilmu dan
pengetahuan berjalan seiring dengan kebebasan
4)
Dalam
beberapa segi, agama identik dengan totaliterisme dan pemenggalan terhadap
aneka kebebasan
5)
Akal
manusia tak berbatas dan sanggup menguak sebagian besar, jika tidak, semua
gejala yang ada
Asumsi-asumsi itu juga mewariskan bekas-bekasnya yang gamblang sikap Barat
terhadap agama dan peranannya dalam kehidupan. (Ahmed O. Altwajri, 1997:106)
d.
Era Industri dan Teknologi
Abad ke 19 dan 20 menjadi saksi meningkatnya
kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan serta industri. Perubahan-perubahan itu lahir karena
beberapa faktor, yaitu:
1)
Aturan-aturan dan hubungan-hubungan sosial
ekonomi baru yang tercipta karena industrialisasi masyarakat Barat.
2)
Kemajuan-kemajuan ilmu dan teknologi yang
menjadi tantangan aneka kepercayaan dan kebiasaan tradisional
3)
Pengenalan teori-teori pemikiran dan sosial yang
menantang seperti Darwinisme, Marxisme dan Freudianisme
4)
Perkembangan nasionalisme dan gerakan-gerakan
emansipasi.
Faktor-faktor ini juga ikut mempercepat perkembangan
kebebasan akademi di masyarakat Barat.
Pada era ini kebebasan akademi mempunyai tanggung jawab yang lebih besar
dan merupakan persoalan utama dalam pendidikan tinggi.
D.
Perbedaan Indonesia dengan Barat di Bidang
Kebebasan Akademik
Meskipun secara praksis kebebasan akademik di
Indonesia dan di Barat mengalami kesamaan yakni sama-sama memberikan apresiasi
kebebasan ide, gagasan, dan imajinasi namun secara substansi ada beberapa
perbedaan yang didasari dengan epistimologi yang melatarbelakangi dunia
akademik antara di Barat dan di Indonesia, sebagai contoh: Bila Indonesia dikategorikan sebagai
peradaban Timur yang didalamnya salah satunya ada unsur dunia Islam, maka di
sini jelas ada perbedaan sebagaimana disetir oleh Ahmed O. Alwajri: Pertama, Sejarah perkembangan kebebasan
akademi di Barat merangkum berbagai episode perjuangan antara ilmu pengetahuan
(yang melukiskan ambisi akal dan intelektual) dengan Gereje (yang menggambarkan
dominasi agama dan otoritas Tuhan).
Gerakan-gerakan reformasi dan kebebasan tampil untuk menantang
dogmatisme Gereja dan tendensi-tendensi supresifnya. Gerakan-gerakan itu juga menetang keras
pemerintah-pemerintah lalim dan totaliter.
Dalam berbagai sektor masyarakat, di Barat, agama tersuruk ke dalam
dogmatisme dan penindasan kebebasan.
Dilain pihak, sejarah Islam menunjukkan pengalaman yang sama sekali
berbeda dengan pengalaman Barat. Dalam
Islam tidak terdapat pertikaian antara agama dan ilmu pengetahuan, bahkan
sebaliknya, Islam menjadi sumber motivasi penelitian intelektual dan
penyelidikan keilmuan. Berbagai pergolakan
dan gerakan-gerakan keebasan dalam dunia Islam tidak diarahkan untuk melawan “dogmatisme”
dan “tirani” lembaga agama seperti yang terjadi di Eropa pada abad ke 17. Pergolakan-pergolakan dan gerakan kebebasan
tersebut justru seringkali dipimpin oleh sarjana-sarjana agama serta diilhami
oleh agama untuk memapankan kembali peran agama itu sendiri. Oleh karena itu, agama adalah dan masih
sangat berkait erat dengan kebanyakan sektor masyarakat Islam untuk
bersama-sama menggapai kemajuan dan kebebasan akademik (pemikiran).
Kedua, konsep agama
dalam liberalisme sekuler sangat berlainan dengan Islam. Di Barat, agama lebih dipandang sebagai
sesuatu yang terbatas, berada dalam lingkup perseorangan dan sangat
pribadi. Peran agama dalam merumuskan
tata sosial, politik dan ekonomi masyarakat pun sangat dibatasi. Sementara itu, dalam Islam, agama merupakan
suatu elan kegiatan (individu dan
sosial). Agama merupakan suatu upaya
rohani, ideologi yang secara langsung mengatur segenap kegiatan manusia,
termasuk sisi pribadi, sosial, politik dan ekonomi. Ketiga,
sekuliresme masyarakat Barat modern menampilkan wajah yang berbeda dengan
masyarakat Islam. Perbedaan pokoknya
terletak pada sifat dan kawasan hukum yang digunakan. Di Barat, asas hukum yang dipakai didasarkan
pada utilitarianisme yang berbasis pada otoritas masyarakat, sedangkan dalam Islam,
asas hukumnya bersifat mutlak, karena didasarkan atas otoritas yang berasal
dari Tuhan. Kenyataan itu melahirkan
perbedaan yang beragam di samping mempengaruhi hukum dan sifat interaksi
manusia.
Keempat,
liberalisme sekuler memupuk
peningkatan kekuatan, status dan otoritas akal
manusia. Pandangannya bersifat
antroposentris. Otoritas tradisional
digantikan oleh akal dan ilmu pengetahuan.
Hal ini berbeda dengan filsafat Islam yang melihat manusia sebagai
khalifah Allah di bumi, yang menegakkan hukum Allah di atas keputusan manusia
dan tidak pernah memisahkan ilmu pengetahuan dari teologi. Kelima,
berdasarkan perbedaan-perbedaan dalam filsafat dan sejarah, maka konsepsi etika
dan moralitas antara Islam dan liberalisme Barat menjadi sangat berbeda. Islam mengaitkan moralitas dengan agama dan
mengajarkan bahwa nilai-nilai moral berasal dari wahyu Allah. Sedang liberalisme sekuler Barat menganggap
bahwa moralitas merupakan suatu isu utilitarian yang otoritasnya berasal dari
akal, pengetahuan empiris dan aneka proses politik yang demokratis. (Ahmed O. Altwajri, 1997:135)
Hal yang
sama juga terjadi di dunia akademik di Indonesia, yang berbeda dengan akademik
dunia Barat. Indonesia meletakkan norma
dan etika sebagai landasan epistimologi keilmuan, sekalipun secara logis sebuah
ilmu menghasilkan nilai-nilai positif tetapi manakala bertentangan dengan norma
dan etika yang hidup dalam nurani kebangsaan maka, dialektika keilmuan tersebut
mendapat pertentangan dari masyarakat bahkan dapat menjadi kontra produktif
bagi dinamisasi keilmuan di dunia kampus. Contoh yang tepat dalam hal ini
adalah ketika maenstream pluralisme dan liberalisme menjadi acuan dalam
kehidupan bertoleransi di Indonesia namun fakta sosial membuktikkan gerakannya
ini banyak mendapat protes dari masyarakat luas.
Peristiwa penolakan terhadap Jaringan Islam
liberal (JIL) oleh mayoritas umat Islam di sini, menunjukkan adanya perbedaan
filosofi terhadap sebuah nilai, satu sisi mengacu kepada kebebasan akademik sisi
lain mengacu kepada moralitas yang dianut oleh mayoritas.
Berbagai konsekuensi budaya yang lahir dari perbedaan-perbedaan filsafat
ini demikian besar, dan sangat mempengaruhi konsepsi tentang kebebasan
akademi. Aspek-aspek perbedaan budaya
ini terlihat dalam berbagai persoalan.
Misalnya, bagaimana seksualitas pranikah dalam budaya Barat tidak
ditolak, paling tidak ditolerir keberadaannya.
Bahkan, seksualitas pranikah semacam ini merupakan suatu arena bahasan
dan konsulatasi dalam berbagai lembaga pendidikan Barat. Dilain pihak, Indonesia sangat melarang
hubungan seks sebelum nikah dan menganggapnya sebagai suatu perilaku yang amat
tidak bermoral. Oleh karena itu, hubungan seks sebelum nikah tidak dapat
dijadikan ajang pembahasan atau pemikiran dalam universitas di Indonesia.
Demikian pula, bila suatu universitas Barat
membenarkan seseorang untuk bertelanjang di depan kelas demi kepentingan
pengenalan suatu pelajaran seni (pahat atau patung), agar secara fisiologis
para mahasiswa dapat mengetahui badan manusia secara inderawi dan utuh, hal
semacam in tidak dapat dibenarkan dan tidak akan memperoleh perlindungan
kebebasan akademi di Indonesia. (Ahmed
O. Altwajri, 1997:138)
E. Kebebasan
Akademik Pengaruh Positif dan Negatif
Harus diakui kebebasan akademik di dunia Barat telah
membawa pencerahan bagi peradaban manusia sebut saja era Helenialisme di Yunani
yang melahirkan generasi semacam Plato, Aristoteles, Galileo dan sebagainya
demikian juga pencerahan terjadi di era Renaissance dan Aufklarung, yang
melahirkan para ilmuwan di Frankfurt yang kesemuanya membawa pencerahan bagi
peradaban manusia dan memudahkan manusia mengakses ilmu pengetahuan dan
teknologi yang muaranya telah memajukan peradaban di jagad raya.
Sebenarnya kemajuan akademik juga terjadi di
dunia Timur namun tidak sedahsyat di dunia Barat seperti restorasi Meiji di
Jepang, sebagai terobosan termodern bagi kekaisaran Jepang. Hal yang sama juga terjadi di Turki sebagai
negara Islam yang melakukan sekularisasi negara yang dipelopori oleh Kemal
Fasha yang kemudian berubah menjadi Kemal Arthatur. Sesungguhnya kebebasan akademik yang membawa
dampak positif juga terjadi di dunia Islam khususnya di Iran, melalui revolusi Raushan Fikr (pencerahan akademis) yang
dimotori di kota Qum telah membawa negara Iran mengalami pencerahan seperti di
era Persia, saat ini yang mengagumkan bagi negara Iran adalah kemandirian
secara teknologi dan ekonomi.
Sisi lain dari kebebasan akademik di dunia
Barat juga berimplikasi negatif manakala dunia Timur tidak mampu mengambil
saripati semangat kebebasan akademik di Barat yang hanya menelan mentah-mentah
maka yang terjadi adalah sekulerisasi di dunia Timur.
Refleksi atas perbedaan konsepsi filosofis bagi
mereka yang mengambil nilai-nilai Barat yang berujung kepada terbuai dengan
budaya, filsafat, dan cara berpikir Barat justru memperoleh pengalaman yang
tidak berdaya, pada titik ini mereka yang terpengaruh pada dunia Barat sangat
mudah untuk diinfiltrasi.
Ketidaksukaan mereka terhadap latar belakang
keilmuan masyarakat yang dulu disinggahinya, kekaguman mereka yang berlebihan
terhadap kemajuan Barat serta kebodohan mereka tentang bahasa, baik secara
linguistik maupun kultural, merupakan unsur-unsur yang memudahkan mereka untuk
terseret pada sekulerisasi dan asimilasi budaya Barat.
Sesungguhnya, universitas-universitas,
professor-professor dan masyarakat Barat secara berbarengan merupakan “orang-orang
lain” yang sangat berkuasa atas mahasiswa-mahasiswa Indonesia itu. Perangkat-perangkat tersebut juga menggiring
mereka untuk mengadopsi sikap terhadap budaya baru tanpa disertai daya kritis
yang dimiliki. Lambat laun konsep-konsep
dan nilai-nilai Barat itu meninggalkan relativitas kontekstual dan menggantikan
kepercayaan yang dulu dianutnya. Apabila
proses ini berjalan tanpa kendali, sementara para mahasiswa itu kembali ke
negara Indonesia, maka pasti akan terjadi konflik antara mereka dengan
lingkungannya sendiri.
Oleh karenanya, adalah suatu kebutuhan bagi
seluruh mahasiswa Indonesia yang belajar pada Barat untuk tidak buta budaya,
baik budaya mereka sendiri ataupun budaya yang diperkenalkan pada mereka. (Ahmed O. Altwajri, 1997:139)
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kebebasan
akademik merupakan substansi dari karakter ilmu pengetahuan itu sendiri, oleh
karena itu kebebasan akademik merupakan aspek utama tumbuh dan berkembangnya
ilmu pengetahuan. Pada hakikatnya, tidak
ada pertentangan akademis antara dunia Barat dan dunia Timur, sebab fakta
sejarah telah menunjukkan dengan kebebasan akademik dunia Barat dan dunia Timur telah mengalami pencerahan dan
atas pencerahan ini pula ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dimanfaatkan
sebaik-baiknya bagi kemajuan peradapan manusia.
Memang,
ada perbedaan antara dunia Barat dan Timur, yakni pada kerangka filosofi norma
dan moralitas namun pada sisi obyektivitas keilmuan keduanya sama-sama
mengedepankan rasionalitas. Oleh karena
ada titik perbedaan pada moralitas dan etika maka kebebasan akademik dunia
barat tidak serta merta bisa diintrodusir ke dunia akademik Timur, pada titik
inilah dampak negatif dari penyaduran
kebebasan akademik Barat oleh akademisi Timur.
B.
Saran
1.
Kebebasan
akademik harus tetap menjadi acuan utama bagi dunia akademisi entah secara
individual maupun institusional guna memberikan apresiasi seluas-luasnya bagi
berkembangnya dialektika berbagai macam ilmu
2. Sebagai ilmuwan yang berbasis kepada nilai
ketimuran hendaknya memfilter
aspek-aspek nilai akademik dari Barat sebagai antisipasi terjadinya
kontradiksi dilingkup sosial yang terkait dengan aktualisasi ilmu pengetahuan
di masyarakat Indonesia
Daftar
Pustaka
Ahmed O. Altwajri. (1997). Islam, Barat dan Kebebasan
akademis. Yogyakarta: Titian Ilahi
(http://kangadhiblogspot.com/Refleksi- Filosofis- tentang Kebebasan-(sumbangan untuk Kang Ismail)/Desember 23, 2006.html.)
(http;//uripsantosoblogspot.com.//kebebasan-akademik/-konsep-dan-model-kebebasan-akademis-diperguruan-tinggi.html
(http://www.BudiHermanablogspot.com//kebebasanakademik/Blog-Archive
Kebebasan Akademik dan Otonomi Keilmuan.htm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar