PERAN OIL BOOM BAGI
KEHIDUPAN PEREKONOMIAN
INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Minyak dan
fluktuasi harganya memberikan pengaruh yang sangat vital pada hampir semua
aktivitas makroekonomi, karena minyak merupakan salah satu energi utama yang
digunakan baik langsung maupun tidak langsung dalam memproduksi barang dan
jasa. Minyak menjadi sumber energi teratas penggunaanya untuk menopang proses
produksi dibandingkan dengan sumber energi lainnya, sehingga fluktuasi harga
minyak sangat sensitif dengan kondisi perekonomian atau pertumbuhan ekonomi di
setiap negara. Dan tidak ada satu negarapun yang tidak tergantung pada minyak
dan mampu secara serta merta menurunkan komsumsinya akibat kenaikan harga tak terkecuali Indonesia.
Dalam hal ini, mau tidak mau Pemerintah mengambil
peran yang sangat penting. Peran atau
campur tangan pemerintah dalam perekonomian aday bersifat kuat (negara
sosialis), ada yang lemah (negara kapitalis).
Indonesia menganut sistem ekonomi campuran dengan mengutamakan berlangsungnya
mekanisme pasar sepanjang tidak merugikan kepentingan rakyat banyak. Sedangkan
tujuan utama atau akhir kebijakan ekonomi yang dibuat oleh pemerintah adalah
untuk meningkatkan taraf hidup atau tingkat kesejahteraan masyarakat.
Sejarah perekonomian Indonesia pada masa ekonomi Pancasila
atau Orde Baru yaitu pada tahun 1966-1998 antara lain yaitu masa stabilisasi
dan rehabilitasi (1966-1968), masa pembangunan ekonomi (1969) yang didalam nya
terdapat masa Oil Boom (1973/1974). Masa
Oil Boom tersebut telah memberikan banyak pengaruh pada perekonomian serta
pertumbuhan negara Indonesia. Makalah ini akan menjelaskan lebih lanjut dan membahas
secara mendalam mengenai peranan baik dan buruk masa Oil Boom terhadap negara
Indonesia.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan Oil Boom?
2.
Apa yang
terjadi saat Oil Boom?
3.
Apa pengaruh
positif Oil Boom terhadap perekonomian Indonesia?
4.
Apa
pengaruh negatif Oil Boom terhadap perekonomian Indonesia?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui definisi Mengetahui manfaat
dari teori motivasi
2.
Memahami
apa yang terjadi saat Oil Boom
3.
Mengetahui
pengaruh positif Oil Boom terhadap perekonomian Indonesia
4.
Mengetahui
pengaruh negatif Oil Boom terhadap perekonomian Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Oil Boom
Melonjaknya
harga minyak yang disebabkan oleh peperangan Timur Tengah dengan Israel
sehingga menimbulkan kekacauan politik dan tindakan boikot dari OPEC (Organization
of the Petroleum Exporting Countries) atau Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak
Bumi, organisasi yang bertujuan menegosiasikan masalah-masalah mengenai
produksi, harga dan hak konsesi minyak bumi
dengan perusahaan-perusahaan minyak.
B.
Sejarah Yang Berkaitan Dengan Oil Boom
Oil
Boom terjadi sebanyak dua kali. Oil Boom
pertama terjadi pada tahun 1973/1974, harga minyak di pasar dunia melonjak dari US$1.67/ barrel (1970 menjadi US$
11.70/barrel (1973/1974). Oil Boom kedua terjadi pada tahun (1979/1980).
Harga minyak yang telah mencapai US$ 15.65/ barrel (1979) melonjak lagi menjadi
US$ 29.50/ barrel (1980), terus melonjak US$ 35.00 (1981 – 1982).
Oil Boom terjadi pada masa Ekonomi Pancasila atau Orde
Baru (1966-1998). Pada masa orde baru, di dalamnya terdapat masa stabilisasi
dan rehabilitasi dengan masalah pokok yang dihadapi yaitu;
a.
Meningkatnya inflasi yang mencapai 650%
pada tahun 1965c)
b.
Turunnya
produksi nasional di semua sektor
c.
Adanya
dualisme pengawas dan pembinaan perbankan. Dualisme ini muncul dari struktur
organisasi perbankan yang meletakkan Deputy Menteri bank Sentral dan Deputy
Menteri Urusan Penertiban bank dan Modal Swasta berada di bawah Menteri
Keuangan.
Rencana dan
Kebijaksanaan Ekonomi yang
dibuat yaitu Ketetapan MPRS Nomor XXIII/MPRS/1966
tentang: Pembaharuan
kebijaksanaan landasan ekonomi, keuangan dan pembangunan, tertanggal 5 Juli
1966, antara lain menetapkan :
1)
Program
stabilisasi dan rehabilitasi : 1966 – 1968 (jangka pendek)
a)
Skala Prioritasnya
(1) Pengendalian
inflasi
(2) Pencukupan
kebutuhan pangan
(3) Rehabilitasi
prasarana ekonomi
(4) Peningkatan
kegiatan ekspor
(5) Pencukupan
kebutuhan sandang
b)
Komponen Rencananya
(1)
Rencana
fisik dengan sasaran utama :
(a)
Pemulihan
dan peningkatan kapasitas produksi (pangan, ekspor dan sandang)
(b)
Pemulihan
dan peningkatan prasrana ekonomi yang menunjang bidang-bidang tersebut.
(2)
Rencana
Moneter dengan sasaran utama :
(a)
Terjaminnya
pembiayaan rupiah dan devisa bagi pelaksanaan rencana fisik.
(b)
Pengendalian
inflasi pada tingkat harga yang relatif stabil sesuai dengan daya beli rakyat.
c) Tindakan
dan Kebijaksanaan Pemerintah
(1)
Tindakan
pemerintah “banting stir” dari ekonomi komando ke ekonomi bebas demokratis;
dari ekonomi tertutup ke ekonomi terbuka; dari anggaran defisit ke anggaran
berimbang. (Mubyarto, 1988).
(2)
Serangkaian
kebijaksanaan Oktober 1966, Pebruari 1967 dan Juli 1967 antara lain :
(a)
Kebijaksanaan
kredit yang lebih selektif (penentuan jumlah, arah, suku bunga)
(b) Menseimbangkan/ menurunkann defisit
APBN dari 173,7% (1965), 127,3% (1966), 3,1% (1967) dan 0% (1968).
(3)
Mengesahkan /
memberlakukan undang-undang :
(a)
UU Pokok Perbankan No.
14/ 1967
(b)
UU Perkoperasian no.
12/ 1967
(c)
UU Bank Sentral No.
13/ 1968
(d) UU PMA tahun 1967 dan UU PMDN tahun
1968
(e) Membuka Bursa Valas di Jakarta 1967.
2)
Program Pembangunan
dimulai tahun 1969/ 1970 (jangka panjang)
a) Skala
Prioritasnya
(1) Bidang
pertanian
(2) Bidang
prasarana
(3) Bidang
industri/ pertambangan dan minyak
b) Jangka
waktu dan strategi pembangunan
1)
Pembangunann
jangka menengah terdiri dari pembangunan Lima Tahun (PELITA) dan dimulai dengan
PELITA I sejak tahun 1969/ 1970
2)
Pembangunan
Jangka Panjang dimulai dengan pembangunan Jangka Panjang Tahap I (PJPT – I)
selama 25 tahun, terdiri dari :
(a)
PELITA I 69 / 70 = 73
/ 74
Titik berat
pada sektor pertanian dan industri yang menunjang sektor pertanian.
(b)
PELITA II 74/75 –
78/79
Titik berat
pada sektor pertanian dengan meningkatkan industri pengolah bahan mentah
menjadi bahan baku.
(c) PELITA
III 79/80 – 83/84
Titik berat
sektor pertanian (swasembada beras) dengan meningkatkan industri pengolah bahan
baku menjadi barang jadi.
(d)
PELITA IV 84/85 –
88/89
Titik berat
pertanian (melanjutkan swasembada pangan) dengan meningkatkan industri
penghasil mesin-mesin.
(e)
PELITA V 89/90 – 93/94
Sektor pertanian untuk memantapkan
swasembada pangan dengan meningkatkan sektor industri penghasil komoditi
ekspor, pengolah hasil pertanian, penghasil mesin-mesin dan industri yang
banyakk menyerap tenaga kerja.
PELITA V
meletakkan landasan yang kuat untuk tahap pembangunan selanjutnya.
Masa Oil
Boom (1973/74 – 1981/82) berlangsung sepanjang waktu pelaksanaan PELITA I –
PELITA III (akhir tahun PELITA I sampai pertengahan tahun PELITA III).
C.
Pengaruh
Positif Oil Boom terhadap Perekonomian Indonesia
1.
Dengan adanya kejadian
Oil Boom, naiknya harga minyak (krisis minyak) memberikan
keuntungan yang relatif sangat besar kepada Indonesia. Pada kurun waktu
tersebut, Indonesia “ketiban pulung” windfall dari kenaikan harga minyak karena
pada saat itu Indonesia merupakan eksportir minyak. Kenaikan harga minyak ini,
mampu mendongkrak jumlah “pundi-pundi” devisa negara sehingga pada saat itu
untuk sementara keadaan keuangan
Indonesia terselamatkan (Anggaran Negara).
2.
Menjelang
tahun 1977 perekonomian Indonesia telah mengalami perubahan struktural yang
cukup menyolok, sebagai akibat kebijaksanaan pemerintah yang ditunjang oleh
naiknya harga minyak bumi. Selama dasawarsa setelah tahun 1965, bagian GDP atau
PDB yang berasal dari sektor pertanian turun dari 52 % menjadi 35 %, sedangkan
bagian GDP yang berasal dari sektor pertambangan telah melonjak dari 3,7 %
menjadi 12 %.
3.
Selama
Pelita I, II, III (1973/74 – 1979/80)
nilai keseluruhan ekspor Indonesia meningkat :
a.
Awal
Pelita I US$ 1 miliar meningkat menjadi US$ 3,6 miliar (akhir Pelita I)
b.
Awal
Pelita II US$ 7,1 miliar meningkat menjadi US$ 11,3 miliar (akhir Pelita II).
c.
Puncaknya
mencapai US$ 23,6 miliar pada tahun 1981/1982.
4.
Laju
pertumbuhan ekonomi cenderung meningkat :
a.
Tiap
Pelita rata-rata : 7% (Pelita I), 7,2% (Pelita II) dan 6,5% (Pelita III).
b.
Terus
meningkat mencapai 9,9% (1980), kemudian menurun 7,9% (1981) dan merosot
menjadi 2,3% pada waktu resesi ekonomi tahun 1982.
D.
Pengaruh
Negatif Oil Boom terhadap Perekonomian Indonesia
1.
Bangsa
Indonesia menjadi manja, hidupnya boros dan mewah seperti, terlihat :
a.
Nilai
ekspor naik 6,8 per tahun tapi diikuti naiknya nilai impor yang lebih tinggi,
yaitu 16,6% per tahun. (Mubyarto, 1988).
b.
Kebutuhan
modal asing (pinjaman lunak) tidak menurun: rata-rata US$ 562 juta per tahun
(1970-1973), malahan meningkat rata-rata US$ 1,646.9 juta per tahun
(1974-1984), (Lampiran Pidato Kenegaraan Presiden RI 15-8-1974 dalam Zulkarnain
Djamin, 1993).
2.
Bangsa Indonesia menderita penyakit belanda (the
Dutch disease), gejalanya terlihat antara lain :
a.
Laju
inflasi dalam negeri lebih tinggi dari inflasi dunia (negara partner dagang)
sebagai akibat besarnya monetisasi penerimaan negara dalam valas.
b.
Defisit
APBN (dalam rupiah) ditutup dengan surplus penerimaan (dalam valas). Akibatnya
jumlah uang beredar meningkat, inflasi meningkat.
c.
Laju
pertumbuhan yang uang beredar jauh lebih besar, rata-rata 34,9%, lalu pertumbuhan ekonomi rata-rata 8%
per tahun selama 1972 – 1981
E.
Kebijakan
Pemerintah menghadapi Oil Boom
Dikarenakan Oil Boom terjadi pada akhir tahun PELITA I sampai pertengahan
tahun PELITA III maka kebijaksanaan tiga
PELITA antara lain:
1.
PELITA
I ; sebagian besar anggaran pemerintah dialokasikan di bidang ekonomi, yaitu
78,28%, untuk sektor pertanian dan irigrasi, sektor perhubungan dan pariwisata,
industri dan pertambangan serta sektor pedesaan.
2.
PELITA
II : kebijaksanaan ekonomi periode ini berkisar pada :
a.
Kebijaksanaan
stabilisasi 9 April 1974 (menyangkut aspek moneter, fisikal dan perdaganagn).
b.
Keibjaksanaan
devaluasi rupiah terhadap dollar AS (kurang lebih 45%) pada bulan Nopember
1978.
3.
PELITA
III : Unsur pemertaan lebih ditekankan melalui delapan jalur
pemeraataan-pemertaan:
a.
Kebutuhan pokok rakyat (pangan, sandang)
b.
Kesempatan memperoleh pendidikan, kesehatan
c.
Pembagian pendapatan
d.
Perluasan kesempatan kerja
e.
Usaha, terutama golongan ekonomi lemah
f.
Kesempatan berpartisipasi (pemuda, wanita
g.
Pembangunan antar daerah
h.
Kesempatan memperoleh keadilan
4.
Kebijaksanaann Januari 1982 : keringan kredit
ekspor, penurunan biaya gudang, pelabuhan dan bebas memiliki devisa.
5.
Eksportir dibebaskan dari kewajiban menjual
devisa yang diperolehnya dari hasil ekspor barang/ jasa kepada bank Indonesia.
6.
Di
bidang impor juga diberikan keringnan bea masuk dan PPN Impor untuk
barang-barang tertentu.
7.
Kebijakan
imbal beli Januari 1983 : mengatur ekspor-impor dengan cara imbal beli untuk
mengurangi pemakaian devisa.
8.
Di bidang perkreditan pelaksanaan KIK/ KMK
semakin disempurnakan dengan Keppres No. 18/1981
Pertumbuhan ekonomi
pada periode ini dihambat oleh reseeese dunia yang belum juga berakhir.
Sementara itu nampak ada kecenderungan harga minyak yang semakin menurun
khususnya pada tahun-tahun terakhir Repelita III.
Pada waktu itu yang dilakukan pemerintah
bukan menyimpan atau menabung sebagian dana minyak tersebut, sebagaimana yang
dilakukan Arab Saudi dan negara-negara Timur Tengah lainnya, yang menyimpan dan
menginvestasikan dananya di negara-negara Barat. Indonesia sebaliknya malah
meningkatkan pinjamannya kepada IGGI (yang tahun 1992 berubah menjadi CGI)
dengan “jaminan” penerimaan minyak yang besar. Akibatnya, ketika utang sudah
mulai jatuh tempo, nila tukar rupiah merosot, dan penerimaan minyak semakin
terbatas, Indonesia menghadapi kesulitan membayar kembali utangnya. Kita
tejebak dalam fenomena “Gali lubang, tutup lubang”. Di samping itu,
ketergantungan pada negara lain menjadi tinggi, dan kedaulatan ekonomi pun
“tersandera” pada lembaga-lembaga keuangan internasional.
Masa
Oil Boom ditandai dengan industrialisasi yang diarahkan oleh pemerintah, peran
BUMN yang menonjol dan pembiayaan oleh bank-bank pemerintah. Oil
Boom I yang memberikan tambahan dana bagi pembangunan telah mengundang
pemikiran alternatif atau tandingan. Pemikiran tandingan dari kelompok nasionalis
dan teknisi yang ingin melakukan lompatan ke depan dan mengembangkan industri
besar dan teknologi tinggi. Pusat pemikiran tandingan ini tersebar di dua
tempat, yaitu pada Ali Murtopo dan Soedjono Hoemardani dan di Pertamina yang
melahirkan Divisi Teknologi Pertamina. Divisi ini kemudian menjelma menjadi
BPPT. Produk dari pemikiran ini antara lain pabrik baja Krakatau Steel generasi
pertama dan beberapa pabrik pupuk yang sebagian besar praktis terbengkalai
karena tidak dilakukan dengan menggunakan analisis biaya-manfaat yang benar.
Krisis Pertamina tahun 1975 telah
menaikkan kembali peran teknokrat. Ditambah lagi dengan kasus Malari pada tahun
sebelumnya telah mendorong pemerintah memberikan kuasa penuh pada teknokrat
untuk mengembangkan strategi pembangunan yang berdimensi pemerataan. Hasil dari
perubahan ini tercermin dari berbagai proyek Inpres yang kemudian diakui telah
banyak berperan dalam mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia.
Oil Boom yang kedua tahun 1978
membuat pemerintah melalaikan disiplin anggaran dan mendorong pemerintah
kembali memberi angin kepada kelompok nasionalis dan teknisi. Berbagai pos
penting seperti BKPM, dan Departemen Perindustrian, diisi oleh kelompok ini
ditambah dengan dua pusat kekuatan baru yaitu Sekneg dan BPPT.
Industri-industri strategis yang terbengkalai kembali dilanjutkan dan
diperluas, namun sayangnya, sekali lagi kecuali PT Krakatau Steel, hampir semua
industri strategis ini masih belum mampu memenuhi harapan. Ketergantungan
keuangan dan pemasaran terhadap pemerintah masih sangat tinggi hingga dewasa
ini.
F.
Pasca Oil Boom
Harga
minyak mencapai US$ 35.00/ per barrel (1981 – 1982), menurun lagi menjuadi US$
29.53/ barrel (1983 – 1984) dan tahun-tahun berikutnya harga berfluktuasi tidak
menentu. Sejak tahun 1983 perekonomian Indonesia memasuki masa Pasca Oil Boom
(Pasca Bonanza Minyak). Tahun 1986 terjadi goncangan ekonomi akibat merosotnya
harga minyak sampai titik terendah US$ 9,83/ barrel. Program refromasi ekonomi
(pemulihan) mulai menampakkan hasil pada tahun 1998.
1.
Masalah-masalah yang dihadapi
Merosotnya harga minyak di pasar
internasional sepanjang tahun 1983 – 1987 menimbulkan masalah berat bagi
perekonomian Indonesia karena penerimaan sektor migas menurun; defisit
transaksi berjalan dan defisit APBN meningkat.
Dampak turunnya harga minyak :
a.
Penerimaan migas dari hasil ekspor menurun 2,0%
menjadi US$ 14.449 juta (1983/1987) dan menurun lagi 44,0% menjadi US$ 6.966
juta (1986/1987).
b.
Defisit transaksi berjalan meningkat dari
US$2..888 juta menjadi US$4.151 juta (1983/1984) dan meningkat lagi dari
US$1.832 juta menjadi US$ 4.051 juta (1986/1987).
c.
Defisit APBN meningkat dari Rp 1.938 triliun
menjadi Rp 2.742. triliun (1983/1984) dan meningkat lagi dari Rp 3.571 triliun
menjadi Rp 3.589 triliun (1986/1987). Sedangkan anggaran pembangunan berkurang
Rp 2.777 triliun atau 23,7% dibanding tahun yang lalu karena pada tahun
1986/1987 banyak proyek yang ditunda/ dipangkas. (angka-angka diolah kembali
dari laporan BI tahun yang bersangkutan).
2.
Rencana dan Kebijaksanaan Pemerintah
Masa Pasca Oil Boom terjadi pada tahun ke-5 PELITA III (1983/1984) sampai
tahun ke-3 PELITA IV (1986/1987).
Kebijaksanaan tahun 1983 – 1984 :
a.
Devaluasi Rupiah terhadap US Dollar (US$ 1 = Rp
702 menjadi US$ 1= Rp 970) untuk
memperkuat daya saing.
b.
Menekan pengeluaran pemerintah dengan
pengurangan subsidi dan penangguhan beberapa proyek pembangunan
c.
Kebijaksanaan
moneter perbankan 1 Juni 1983 (PAKJUN 1983) :
1)
Kebebasan
menentukan suku bunga deposito dan pinjaman bagi bank-bank pemerintah
2)
Pemerintah
menerbitkan SBI (Sertifikat Bank Indonesia) sejak Pebruari 1984 dan memberikan
fasilitas diskonto keapada bank-bank umum yang mengalami kesulitan likuiditas
(SBPU mulai digunakan Pebruari 1985).
d.
Kebijaksanaan
perpajakan : memberlakukan seperangkat Undang-undang Pajak Nasional (1984).
3.
Kebijaksanaan Reformasi Ekonomi 1986 – 1987
Kebijaksanaan ini terutama diarahkan untuk mencegah memburuknya neraca
pembayaran, mendorong ekspor non migas, mendorong penanaman modal dan
meningkatkan daya saing produk ekspor (non migas) di pasar dunia.
a.
Sektor Fiskal/ Moneter :
1)
Pemerintah melakukan penghematan antara lain
dengan mengurangi subsidi; meningkatkan penerimaan melalui intensiftikasi dan
ekstensifikasi pemungutan pajak.
2)
Devaluasi rupiah terhadap US Dollar sebesar 31%
(dari US$ 1 = Rp 970 menjadi US$ 1 = Rp 1.270)
3)
Tidak menaikkan suku bunga instrumen moneter
untuk mendorong kegiatan ekonomi dan pengerahan dana serta memperbaiki posisi
neraca pembayaran.
4)
Pemerintah menghapus ketentuan pagu swap ke Bank
Indonesia untuk mendoirong pemasukan modal asing dan dana dari luar negeri
b.
Sektor Riil (struktural) :
1)
PAKMI – 1986 (6 Mei 1986) menyangkut ekspor:
kemudahan tata niaga, fasilitas pembebasan dan pengembalian bea masuk,
pembentukan kawasan berikat.
2)
PAKTO – 1986 ( 25 Oktober 1986) menyangkut
impor: mengganti “sistem non tarif” dengan “sistsem tarif” untuk mencegah
manipulasi harga barang. Penyempurnaan bea masuk dan bea masuk tambahan.
3)
PAKDES
– 1986 (29 Desember 1986) : memberi kemudahan-kemudahan kepada
perusahaan-perusahaann industri strategis tertentu.
Program penyesuaian ekonomi struktural dan
reformasi ekonomi yang dilakukan pemerintah Indonesia sejak anjloknya harga
minyak di pasar dunia pada pertengahan tahun 1980-an mencakup empat katagori
besar, yaitu : (1) pengaturan nilai tukar rupiah (exchange rate management),
(2) kebijakan fiskal, (3) kebijakan moneter dan keuangan serta (4) kebijakan
perdagangan dan deregulasi atau reformasi di sektor riil dan moneter. (Tulus Tambunan, 1996). Beberapa
hasil Reformasi Ekonomi 1986 – 1987 :
a.
Laju
pertumbuhan ekonomi meningkat dari 4,9% (1987) menjadi 5,8% (1988)
b.
Nilai
total ekspor meningkat dari US$ 17.206 juta (1987) menjadi US$ 19.509 juta
(1988) Prosentasi ekspor non migas meningkat dari 50,2% (1987) menjadi 59,8%
(1988).
c.
Defisit
transaksi berjalan menurun : uS$2.269 juta (1987) menjadi US$1.552 juta (1988).
(Statistik Keuangan 1991/1992, BPS)
Meskipun adanya perbaikan dalam lingkungan ekonomi eksternal, termasuk
pemulihan harga minyak, telah membantu Indonesia dalam proses penyesuaiannya,
usaha dan tindakan setelah tahun 1986 berupa kebijaksanaan-kebijaksanaan struktural dan finansial yang tepat
telah memainkan peranan penting. Kebijaksanaan-kebijaksanaan
penyesuaian yang dijalankan sejak tahun 1986 telah memperkuat kemampuan ekonomi
Indonesia untuk berdaya tahan terhadap goncangan yang merugikan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Masa Oil Boom merupakan masa emas bagi dunia
pertambangan, karena pundi-pundi uang yang dihasilkan dari minyak dan gas yang
dijual mampu membantu proses pembangunan di Indonesia. Tentu saja, hal ini tak terlepas dari tragedi
tindakan pemboikotan yang dilakukan oleh OPEC dan Timur Tengah yang sedang
berkonflik dengan Israel.
Peristiwa
Oil Boom memberikan pengaruh yang cukup kuat terhadap perekonomian di
Indonesia. Pengaruh positif dari
peristiwa Oil Boom antara lain, keuangan Indonesia yaitu anggaran negara
terselamatkan sementara, selama
Pelita I, II, III laju pertumbuhan ekonomi cenderung meningkat, dan nilai keseluruhan ekspor Indonesia
meningkat. Dampak negatif dari peristiwa Oil
Boom yaitu; bangsa Indonesia
menjadi manja, hidupnya boros dan mewah dan bangsa Indonesia menderita penyakit
belanda (the Dutch disease). Selain itu, peristiwa Oil Boom juga
mengakibatkan pemerintah melalaikan disiplin anggaran dan rawan akan KKN.
Pasca
peristiwa Oil Boom, Indonesia mengalami terjadi goncangan ekonomi akibat
merosotnya harga minyak sampai titik terendah US$ 9,83/ barrel yaitu pada tahun 1986. Merosotnya harga minyak di pasar
internasional sepanjang tahun 1983 – 1987 menimbulkan masalah berat bagi
perekonomian Indonesia karena penerimaan sektor migas menurun; defisit
transaksi berjalan dan defisit APBN meningkat.
Hal
ini memberikan pelajaran bagi Bangsa Indonesia untuk tidak hanya menengadahkan
tangan menikmati berbagai pundi-pundi uang yang
masuk ke dalam devisa negara, namun juga mempertimbangkan peristiwa yang akan
terjadi di masa yang akan datang, sehingga tidak mengalami “shock” dengan kata
lain telah mengantisipasi kemungkinan terburuk yang akan terjadi.
B.
Saran
Apabila kelak Indonesia mengalami peristiwa
semacam Oil Boom, diharapkan masyarakat Indonesia telah mempersiapkan diri
sehingga tidak memberikan dampak negatif yang terlalu berpengaruh bagi
kehidupan masyarakat Indonesia, seperti masyarakat yang menjadi manja, hidupnya boros dan mewah.
Bagi pemerintah
dan pihak-pihak yang terkait, diharapkan memberikan sosialisasi yang memadai
untuk masyarakat, sehingga dapat menanggulangi dampak negatif yang dapat
terjadi dari peristiwa serupa. Selain
itu, pemerintah hendaknya tetap disiplin dan konsisten dalam penarikan keuangan. Selain itu, diharapkan pula, bagi masyarakat
dan pemerintah untuk bekerjasama mengoptimalkan sektor-sektor yang dapat
memberikan windfall bagi Indonesia.
Daftar
Pustaka
http://datuklimo.blogspot.com/2011/05/pengaruh-kenaikan-harga-minyak-dunia.html/ 30 Juli 2011/ 16.33 WIB
http;//freetechebooks.com/doc-2011/sejarah-oil-page6.html/ 28 Juli 2011/ 15.43WIB
http;//www.agungbaitul.co.tv/Oil Boom/makalah-ekonomi.html/27
Juli 2011/14.22 WIB
http;//www.armanspsongo.com
» 2010 » Januari » 102.html/28 Juli 2011/ 15.30 WIB
http;//www.blogspot.com./tansformasi struktural
perekonomian indonesia pada tahun 2020: permasalahan dan tantangan/tri widodo w. utomo .html/ 29 Juli 2011/ 16.55 WIB
Ka makalahnya bagus, luar biasa. Tapi sumber yg tercantum tidak sesuai. Jika boleh saya minta sumber aslinya dari mana? Terima kasih :)
BalasHapus