Jumat, 20 April 2012

Pengaruh Multikuluturalisme Terhadap Proses Sosialisasi di Kampus


MAKALAH
MATA KULIAH SOSIOLOGI

PENGARUH MULITIKULTURALISME
TERHADAP PROSES SOSIALISAI DI KAMPUS

Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sosiologi
Dosen Pengampu:  Wasiti, M.Si







Disusun Oleh:
                Nunung Khusnul Khotimah            (10402241001)


                                                                                           
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN ADMINISTRASI PERKANTORAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2011





BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Bangsa Indonesia dikatergorikan bangsa yang pluralis karena tersusun dari keanekaragaman suku, agama, ras, adat istiadat, bahasa dan lain-lain. Singkatnya, tersusun dari keragaman budaya atau multikultur. Dengan kata lain, bangsa Indonesia merupakan bangsa yang masyarakatnya sangat majemuk atau pluralis. Kemajemukan bangsa Indonesia dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu horizontal dan vertical.
Dalam perspektif horizontal, kemajemukan bangsa kita dapat dilihat dari perbedaan agama, etnis, bahasa daerah, dan budayanya. Dalam perspektif vertikal, kemajemukan bangsa dapat dilihat dari perbedaan tingkat pendidikan, ekonomi, pekerjaan dan tingkat sosial budaya.  Tak heran, apabila di Indonesia kerap terjadi konflik yang disebabkan oleh kemajemukan penduduknya. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi proses sosialisasi dan norma yang berlaku dalam masyarakat atau kelompok tertentu, sesuai dengan kultur dari masing-masing masyarakat.
Civitas akademika di universitas, yang notabene merupakan lembaga pendidikan terdiri dari berbagai macam latar belakang budaya. Civitas akademika tersebut tentu saja melakukan interaksi sosial, yang didorong dari dirinya sendiri secara alamiah, yaitu dorongan untuk memenuhi kebutuhan, mempertahankan hidup dan melakukan komunikasi dengan sesama.  Dari proses interaksi sosial, khususnya pada mahasiswa, maka secara otomatis akan terjadi relasi sosial yang akan mempengaruhi sosialisasi nilai, norma yang akan memperngarui kepribadian mahasiswa.  Selain itu, sosialisasi bertujuan pula untuk membangun kapasitas manusia agar berfungsi sebagai individu maupun anggota dalam kelompoknya. Proses sosialisasi pun dipengaruhi oleh norma yang berlaku di dalam kampus, baik tertulis maupun tidak tertulis, sehingga mahasiswa memiliki aturan atau patokan dalam bertingkah laku.
Tak dapat dipungkiri, terkadang proses interaksi dan relasi sosial di dalam kampus tidak berjalan dengan mulus, dengan kata lain membawa dampak negatif bagi mahasiswa tersebut.  Namun, di sisi lain, tak sedikit pula yang mengarah pada dampak positif.  Untuk pemahaman yang lebih mendalam, pada makalah ini akan dilakukan pengkajian lebih dalam mengenai proses sosialisasi terhahap nilai-nilai multikulturalisme pada mahasiswa di kampus.

B.     Rumusan Masalah
1.    Apa itu interaksi sosial, norma sosial dan sosialisasi dan hal-hal yang berkaitan dengan ke tiga kosa kata tersebut?
2.    Apakah multikulturalme para civitas akademika di Universitas mempengaruhi proses sosialisasi?
3.    Apa saja dampak dari lemahnya pemahaman kesadaran multikulturalisme di kampus?
4.    Apa solusi dari dampak lemahnya pemahaman kesadaran multikulturalisme di kampus?

C.    Tujuan
1.    Mengetahui definisi dan hal-hal yang berkaitan dengan interaksi sosial, norma sosial dan sosialisasi
2.    Mengetahui adakah pengaruh multikulturalisme para civitas akademika di kampus dalam  proses sosialisasi
3.    Memahami dampak dari lemahnya pemahaman kesadaran multikulturalisme di kampus
5.    Mengetahui solusi dari dampak lemahnya pemahaman kesadaran multikulturalisme di kampus


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Interaksi Sosial, Norma Sosial dan Sosialisasi
Berikut ini, definisi dan hal-hal yang berkaitan dengan interaksi sosial, norma sosial, dan sosialisasi:
1.    Interaksi Sosial
Interaksi sosial adalah hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan perorangan, antara kelompok dengan kelompok lain, dan antara kelompok manusia dengan individu.  Interaksi sosial terbentuk oleh faktor – faktor berikut ini :
a.    Tindakan Sosial
Max Weber mendefinisikan bahwa tindakan sosial adalah tindakan seorang individu yang dapat mempengaruhi individu-individu lainnya dalam masyarakat.  Tindakan sosial dapat dibedakan menjadi 4 macam yaitu :
1)        Tindakan Rasional Instrumental : tindakan yang dilakukan dengan memperhitungkan kesesuaian antara cara dan tujuan.
2)        Tindakan Rasional Berorientasi nilai : Tindakan-tindakan yang berkaitan dengan nilai – nilai dasar dalam masyarakat.
3)        Tindakan Tradisional: tindakan  yang tidak memperhitungkan pertimbangan Rasional.
4)        Tindakan Ofektif : tindakan-tindakan yang dilakukan oleh seorang atau kelompok orang berdasarkan perasaan atau emosi  (Muh. Doddy, 2010:330).
b.    Kontak Sosial
     Dalam kehidupan sehari-hari kontak sosial dapat dilakukan dengan cara pihak – pihak yang berkomunikasi . Cara kontak sosial itu ada 2 macam yaitu :
1)        Kontak Langsung: Pihak komunikator menyampaikan pesannya secara langsung kepada pihak komunikan .
2)        Kontak Tidak Langsung: Pihak komunikator menyampaikan pesannya kepada pihak komunikan melalui perantara pihak ketiga .
Kontak Sosial yang dilakukan menurut terjadinya proses komunikasi, ada dua yaitu (1) Kontak Primer dan (2) Kontak Sekunder.
c.    Komunikasi Sosial
Komunikasi artinya berhubungan atau bergaul dengan orang lain. Orang yang menyampaikan komunikasi disebut komunikator, orang yang menerima komunikasi disebut komunikan. Komunikasi sosial ditekankan pada bagaimana pesannya diproses.
Bentuk – Bentuk interaksi yang mendorong terjadinya lembaga , kelompok dan organisasi sosial:
a.    Bentuk interaksi sosial menurut jumlah pelakunya .
1)        Interaksi antara individu dan individu
2)        Interaksi antara individu dan  kelompok                                         
3)        Interaksi antara Kelompok dan Kelompok
b.    Bentuk interaksi sosial menurut proses terjadinya
1)        Imitasi
Imitasi adalah pembentukan nilai melalui dengan meniru cara- cara orang lain.
2)        Identifikasi
Identifikasi adalah menirukan dirinya menjadi sama dengan orang yang ditirunya.
3)        Sugesti
Rangsangan atau pengaruh atau stiulus yang diberikan seorang individu ekapada individu lain sedemikian rupa, sehingga orang yang diberi sugesti menuruti atau melaksanakan tanpa pikir panjang.
4)        Motivasi
Motivasi merupakan dorongan, rangsangan atau sitmulus yang idberikan seseorang kepada individu lain sehingga orang yang diberi motivasi menuruti atau melaksanakan secara kritis, rasional dan penuh tanggung jawab.
5)        Simpati
Kecapakan untuk merasa diri seolah-olah dalam keadaan orang lain dan ikut meraasakan apa yang dialami atau diderita orang lain.
6)        Empati
Merupakan kelanjutan dari simpati yang berupa perbuatan nyata untuk mewujudkan rasa simpatinya.  Empati itu dibarengi perasaan organisme tubuh yang sangat dalam.  (Yuniasri Sadewi H., 2007:3)
2.    Norma Sosial
Norma sosial adalah kebiasaan umun yang menjadi patokan perilaku dalam suatu kelompok masyarakat dan batasan wilayah tertentu. Norma akan berkembang seiring dengan kesepakatan-kesepakatan sosial masyarakatnya, sering juga disebut dengan peraturan sosial. Keberadaan norma sosial dalam masyarakat bersifat memaksa individu atau suatu kelompok agar bertindak sesuai dengan aturan sosial yang telah terbentuk. Pada dasarnya, norma disusun agar hubungan di antara manusia dalam masyarakat dapat berlangsung tertib sebagaimana yang diharapkan. Norma merupakan hasil buatan manusia sebagai makhluk sosial. Pada awalnya, aturan ini dibentuk secara tidak sengaja. Lama-kelamaan norma-norma itu disusun atau dibentuk secara sadar.
Tingkatan norma sosial dalam masyarakat adalah sebagai berikut     :
a.    Cara
Cara adalah suatu bentuk perbuatan tertentu yang dilakukan individu dalam suatu masyarakat tetapi tidak secara terus-menerus.
b.    Kebiasaan
Kebiasaan merupakan suatu bentuk perbuatan berulang-ulang dengan bentuk yang sama yang dilakukan secara sadar dan mempunyai tujuan-tujuan jelas dan dianggap baik dan benar.
c.    Tata kelakuan
Tata kelakuan adalah sekumpulan perbuatan yang mencerminkan sifat-sifat hidup dari sekelompok manusia yang dilakukan secara sadar guna melaksanakan pengawasan oleh sekelompok masyarakat terhadap anggota-anggotanya.
d.   Adat istiadat
1)      Adat istiadat adalah kumpulan tata kelakuan yang paling tinggi kedudukannya karena bersifat kekal dan terintegrasi sangat kuat terhadap masyarakan yang memilikinya. (Muh. Doddy, 2010:330).
Macam-macam norma sosial antara lain adalah :
a.    Norma agama
b.    Norma kesusilaan
c.    Norma kesopanan
d.   Norma kebiasaan
e.    Norma hukum
3.    Sosialisasi
Definisi sosialisasi oleh Charlotte Buhler yaitu proses yang membantu individu-individu belajar dan menyesuaikan diri, bagaimana cara hidup, dan berpikir kelompoknya agar ia dapat berperan dan berfungsi dengan kelompoknya.
Tahap-tahap sosialisasi menurut George Herbert Mead:
a.       Preparatory Stage (Tahap Persiapan)
Anak mulai melakukan kegiatan meniru tetapi tidak sempurna
b.      Play Stage (Tahap Meniru)
Anak semakin sempurna menirukan peran orang dewasa
c.       Tahap  Game Stage (Tahap Siap Bertindak)
Mulai memahami norma secara bertahap
d.      Tahap Generalized Other (Tahap Menerima Norma Kolektif)
Seseorang sudah dianggap dewasa dan harus menerima norma yang berlaku .

Agen-agen Sosialisasi
Agen sosialisasi adalah pihak-pihak yang melaksanakan sosialisasi. Dapat juga disebut sebagai media sosialisasi. Jacobs dan Fuller, mengidentifikasi empat agen utama sosialisasi, yaitu:
a.        Keluarga
b.      Kelompok pertemanan sebagai
c.       Sistem/lingkungan pendidikan
d.      Sistem/lingkungan kerja
e.       Media massa
Faktor-faktor yang mempengaruhi sosialisasi adalah sebagai berikut:
a.         Kematangan fisik seseorang
b.         Lingkungan atau sarana sosialisasi
c.         Keinginan yang kuat


B.       Pengaruh Multikulturalisme di Dalam Kampus Terhadap Proses Sosialisasi
Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman, dan berbagai macam budaya (multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut. multikultural juga sering digunakan untuk menggambarkan kesatuan berbagai etnis masyarakat yang berbeda dalam suatu negara. Konsep multikulturalisme menurut Taylor adalah gagasan mengatur keberagaman dengan prinsip dasar pengakuan akan keberagaman itu sendiri (politics of recognition).
Multikulturalisme berasal dari dua kata; multi (banyak, beragam) dan cultural (budaya atau kebudayaan), yang secara etimologi berarti keberagaman budaya. Budaya yang mesti dipahami, adalah bukan budaya dalam arti sempit, namun semua semua dialektika manusia terhadap kehidupannya. Dialektika ini akan melahirkan banyak wajah, seperti sejarah, pemikiran, budaya verbal, bahasa dan lain-lain.
Multikulturalisme berakar dari individualistik, liberal, yang memahami perbedaan kultur, memahami perbedaan atau kekayaan perbedaan agama, politik, ideologi, dan lain-lain, hanya sebatas memahami untuk tidak timbulnya benturan akibat perbedaan-perbedaan tersebut (pasif-liberalis) sehingga konsep Multikuturasisme ini harus diikuti dengan konsep Pluralisme yang memahami adanya perbedaan-perbedaan untuk kemudian pemahaman itu ditingkatkan menjadi toleransi dan tolong menolong, gotong-royong, dan saling menghormati antar umat beragama.
Berkaitan dengan pendidikan, multikulturalisme bermakna sebagai “pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan”. (http://warnadunia.com/).
            Dalam hal ini pendidikan saling tumpang-tindih dengan kehidupan sosial. Sebagaimana pendapat Paulo Freire, bahwa pendidikan bukan merupakan “menara gading” yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagi akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya. (http://warnadunia.com/)
     Proses sosialisasi di dalam kampus yang multikultural, tentu saja akan berpengaruh terhadap kepribadian dari mahasiswa tersebut.  Hal ini dikarenakan proses interaksi sosial yang dilakukan mahasiswa dengan orang-orang yang satu sama lain memiliki kultur dan adat istiadat yang berbeda. Tak hanya itu, mahasiswa pun harus beradaptasi dengan norma sosial yang berlaku di dalam kampus.
Secara sederhana, proses sosialisasi ini akan terlihat nyata apabila dilihat dari segi fisik.  Contohnya:  Mahasiswa akan berpakaian mengikuti  aturan yang berlaku di dalam kampus.  Apabila tata tertib di dalam kampus menyatakan bahwa tidak boleh memakai kaos dalam mengikuti perkuliahan, maka mau tidak mau, mahasiswa harus mengikuti peraturan tersebut.
Selain itu, multikulturalisme juga mempengaruhi mahasiswa dari segi bahasa.  Bahasa merupakan unsur penting dalam kehidupan, serta sebagai alat untuk berkomunikasi. Apabila mahasiswa tidak berkomunikasi dengan baik, tentu saja hal ini akan menghambat proses sosialisasi.  Tidak hanya itu, hambatan dalam komunikasi pun akan menjadikan mahasiswa terasing atau mengasingkan diri dari lingkungannya.  Sisi negatif lainya adalah timbulnya konflik dikarenakan kesalahpahaman dalam penggunaan bahasa. 
Dengan adanya proses  interaksi sosial antar kultur, maka secara tidak langsung terjadi proses pengenalan kultur masing-masing.  Sehingga  mahasiswa dapat mengetahui ciri-ciri atau adat dari masing-masing kultur.  Dengan adanya pemahaman dan pengenalan ini, maka akan dapat memperkecil kemungkinan untuk terjadinya konflik antar mahasiswa.
Kebiasaan yang ada di dalam kampus di suatu daerah tertentu, juga akan berpengaruh pada kepribadiaan dari mahasiswa dari daerah lain.  Hal ini dikarenakan mahasiswa akan beradaptasi dengan kebiasaan di mana dia tinggal dan sejenak meninggalkan kebiasaan di daerah asalnya.
Selain kebiasaan, cara pandang dari mahasiswa pun akan terpengaruh di dalam proses sosialisasi.  Bagaimana mayoritas civitas akademika dalam kampus tersebut menilai suatu perkara, maka secara perlahan akan merubah cara pandang minoritas civitas akademika.
                  
C.      Dampak Lemahnya Pemahaman Kesadaran Multikulturalisme di Dalam Kampus
Telah diketahui bahwa di dalam sebuah universitas, civitas akademika  terdiri atas beragam ras, suku, etnis, agama, budaya, keyakinan, pilihan hidup, termasuk orientasi seksual. gagasan umum keberagamaan ras, yang hidup dalam harmoni pluralistik, yang melihat keberagamaan sebagai pluralitas identitas dan kondisi eksistensi manusia. Identitas dipandang sebagai produk adat istiadat, praktik, dan makna yang merupakan warisan dan ciri pembawaan serta pengalaman bersama.
Blue Mink mengatakan bahwa identitas dibentuk oleh relasi-relasi kekuasaan. Identitas etnik sebagian besar adalah imajinasi sosial yang memilah beragam kelompok budaya ke dalam suatu komunitas dengan mengikat mereka bersama dalam narasi sastra dan visual yang ditempatkan dalam teritori sejarah dan memori. Sehingga dalam rangka membangun demokratisasi lokal dan pemberdayaan kaum minoritas agama dan kebudayaan lokal ini, kita harus menyertakan multikulturalisme.
Tetapi pada kenyataannya di dalam lingkungan universitas dampak negatif terhadap lemahnya pemahaman kesadaran multikulturalisme di dunia kampus terkadang menyebabkan konflik mahasiswa seperti pertikaian, konflik, pengejekan yang berbau SARA, dan lain-lain.
Kelompok-kelompok minoritas juga selalu dipinggirkan, disingkirkan baik secara ekonomi, politik, sosial, maupun budaya. Bahkan tidak hanya itu, secara historis, sejarah mereka pun tersisihkan. Mereka umumnya berada pada “margin history” yang berfungsi sebagai “pelengkap penderita” sejarah mainstream kelompok utama. Dalam banyak hal, kekuasaan politik yang biasanya hanya memenuhi keinginan kelompok mayoritas memiliki peran sentral dalam melakukan proses peminggiran terhadap “komunitas splinter ini.
Kelompok-kelompok mayoritas menindas kelompok minoritas, untuk memaksakan kehendaknya. Persaingan yang tidak sehat antar budaya dan ras, memaksakan kebenaran, saling merasa paling unggul sehingga ada benarnya apa yang dikatakan Rorty bahwa Spesies manusia akan mati tercekik karena dengan klaim-klaim “universal” kebudayaan dan peradaban lokal yang saling menerkam.
Multi kekerasan atau spiral kekerasan dalam bentuk apapun pada suatu entitas sebenarnya tidak perlu terjadi bila mana ada kesadaran dan tumbuh pemahaman yang konprehensif terhadap nilai-nilai universal multikulturalisme, yakni sebuah penghargaan terhadap keragaman kultural yang ada pada entitas-entitas masyarakat atau komunitas seperti di komunitas kampus.
Maka dari itu harus dilakukan upaya merajut kembali hubungan antarmanusia yang belakangan selalu hidup dalam suasana penuh dengan konfliktual. Harus ada sebuah kesadaran masif yang muncul bahwa diperlukan kepekaan terhadap kenyataan kemajemukan, pluralitas bangsa, baik dalam etnis, agama, budaya, hingga orientasi politik. Sehingga akan terbangun suatu sistem tata nilai kehidupan yang menjunjung tinggi toleransi, kerukunan dan perdamaian bukan konflik atau kekerasan meskipun terdapat perbedaan sistem sosial di dalamnya, yaitu pemahaman tentang Multikulturasisme yang belum dipahami dengan benar dan menyeluruh.

D.      Solusi Lemahnya Pemahaman Kesadaran Multikulturalisme di Dalam Kampus
Merupakan kenyataan yang tak bisa ditolak bahwa negara-bangsa Indonesia terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama dan lain-lain sehingga negara-bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat “multikultural”. Tetapi pada pihak lain, realitas “multikultural” tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali “kebudayaan nasional Indonesia” yang dapat menjadi “integrating force” yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya tersebut.
Perbedaan budaya merupakan sebuah konduksi dalam hubungan interpersonal. Sebagai contoh ada yang orang yang bila diajak bicara (pendengar) dalam mengungkapkan perhatiannya cukup dengan mengangguk-anggukan kepala sambil berkata “uh. huh”. Namun dalam kelompok lain untuk menyatakan persetujuan cukup dengan mengedipkan kedua matanya. Dalam beberapa budaya, individu-individu yang berstatus tinggi biasanya yang memprakarsai, sementara individu yang statusnya rendah hanya menerima saja sementra dalam budaya lain justru sebaliknya.
Beberapa psikolog menyatakan bahwa budaya menunjukkan tingkat intelegensi masyarakat. Berpikir bahwa toleransi tidak hanya diperuntukkan untuk kepentingan bersama akan tetapi juga menghargai kepercayaan dan berinteraksi dengan anggota masyarakat.
Pendidikan multikultural (multicultural education) merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non Eropa (Hilliard, 1991-1992). Sedangkan secara luas pendidikan multikultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnic, ras, budaya, strata sosial dan agama.
Pendidikan multikultural diharapkan dapat menciptakan struktur dan kultur yang setiap kelompok budaya bisa melakukan ekspresi budayanya secara nyaman dan harmonis, tanpa implikasi konflik. Keragaman budaya bangsa Indonesia adalah sebuah kenyataan yang harus diterima, tanpa ruang tawar-menawar. Karena kenyataan tak tertolak, maka harus diterima, dijaga, dipelihara, dan dikelola agar mendatangkan kebaikan dan keuntungan. Lingkungan pendidikan harus dirancang untuk menciptaka suatu kehidupan yang menerima perbedaan, bisa hidup bersama secara harmonis, saling menghormati dan menghargai perbedaan. Ini adalah tujuan ideal pendidikan multicultural.
Selanjutnya James Banks (1994) menjelaskan bahwa pendidikan multikultural memiliki lima dimensi yang saling berkaitan :
1.    Content Integration
     Mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu
2.    The Knowledge Construction Process
     Membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin).
3.    An Equity Paedagogy
     Menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun social.
4.    Prejudice Reduction
     Mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka.
5.    Melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik.
Ada beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multikultural, yaitu :
1.    Tidak lagi terbatas pada menyamakan pandangan pendidikan (education) dengan persekolahan (schooling) atan pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan membebaskan pendidik dari asumsi bahwa tanggung jawab primer menegmbangkan kompetensi kebudayaan di kalangan anak didik semata-mata berada di tangan mereka dan justru semakin banyak pihak yang bertanggung jawab karena program-program sekolah seharusnya terkait dengan pembelajaran informal di luar sekolah.
2.     Menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan kebudayaan dengan kelompok etnik adalah sama. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. secra tradisional, para pendidik mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan kelompok-kelompok sosial yang relatif self sufficient, ketimbang dengan sejumlah orang yang secara terus menerus dan berulang-ulang terlibat satu sama lain dalam satu atau lebih kegiatan. Dalam konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami para penyusun program-program pendidikan multikultural untuk melenyapkan kecenderungan memandang anak didik secara stereotip menurut identitas etnik mereka dan akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai kelompok etnik.
3.     Karena pengembangan kompetensi dalam suatu “kebudayaan baru” biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, bahkan dapat dilihat lebih jelas bahwa uapaya-upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik adalah antitesis terhadap tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidarits kelompok adalah menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan secara logis.
4.     Pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi ditentukan oleh situasi.
5.    Kemungkinan bahwa pendidikan bahwa pendidikan (baik dalam maupun luar sekolah) meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikhotomi antara pribumi dan non-pribumi. Dikotomi semacam ini bersifat membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalaman normal manusia.
Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multikultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri anak didik.
Dalam konteks keindonesiaan dan kebhinekaan, kelima pendekatan tersebut haruslah diselaraskan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Masyarakat adalah kumpulan manusia atau individu-individu yang terjewantahkan dalam kelompok sosial dengan suatu tantangan budaya atau tradisi tertentu. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Zakiah Darajat yang menyatakan, bahwa masyarakat secara sederhana diartikan sebagai kumpulan individu dan kelompok yang diikat oleh kesatuan negara, kubudayaan dan agama.
Jadi dapat dipahami inti masyarakat adalah kumpulan besar individu yang hidup dan bekerja sama dalam masa relatif lama, sehingga individu-individu dapat memenuhi kebutuhan mereka dan menyerap watak sosial. Kondisi itu selanjutnya membuat sebagian mereka menjadi komunitas terorganisir yang berpikir tentang dirinya dan membedakan ekstensinya dari ekstensi komunitas. Dari sisi lain, apabila kehidupan di dalam masyarakat berarti interaksi antara individu dan lingkungan sosialnya. Maka yang menjadikan pembentukan individu tersebut adalah pendidikan atau dengan istilah lain masyarakat pendidik.
Untuk itu, setiap warga kampus memiliki peranan dan tanggung jawab moral terhadap terlaksananya proses pendidikan. Hal ini disebabkan adanya hubungan timbal balik antara masyarakat dan pendidikan. Dalam upaya memberdayakan masyarakat dalam dunia pendidikan merupakan satu hal penting untuk kemajuan pendidikan.(http://id.wikipedia.com)


BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Interaksi sosial adalah hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan perorangan, antara kelompok dengan kelompok lain, dan antara kelompok manusia dengan individu.  Norma sosial adalah kebiasaan umun yang menjadi patokan perilaku dalam suatu kelompok masyarakat dan batasan wilayah tertentu.   Definisi sosialisasi menurut Charlotte Buhler yaitu proses yang membantu individu-individu belajar dan menyesuaikan diri, bagaimana cara hidup, dan berpikir kelompoknya agar ia dapat berperan dan berfungsi dengan kelompoknya.
Konsep multikulturalisme menurut Taylor adalah gagasan mengatur keberagaman dengan prinsip dasar pengakuan akan keberagaman itu sendiri (politics of recognition).
Proses sosialisasi di dalam kampus yang multikultural, tentu saja akan berpengaruh terhadap kepribadian dari mahasiswa tersebut.  Hal ini dikarenakan proses interaksi sosial yang dilakukan mahasiswa dengan orang-orang yang satu sama lain memiliki kultur dan adat istiadat yang berbeda. Tak hanya itu, mahasiswa pun harus beradaptasi dengan norma sosial yang berlaku di dalam kampus.  Hal-hal yang terpengaruh antara lain, cara berpakaian, bahasa yang digunakan, pemahaman dan adaptasi dengan kultur lain, kebiasaan dan cara pandang terhadap suatu perkara.
Dampak negatif terhadap lemahnya pemahaman kesadaran multikulturalisme  dunia civitas akademika di dalam kampus antara lain: menyebabkan konflik mahasiswa seperti pertikaian, konflik, terkadang pengejekan yang berbau SARA, dan lain-lain.  Kelompok-kelompok minoritas juga selalu dipinggirkan, disingkirkan baik secara ekonomi, politik, sosial, maupun budaya. Bahkan tidak hanya itu, secara historis, sejarah mereka pun tersisihkan.  Kelompok-kelompok mayoritas menindas kelompok minoritas, untuk memaksakan kehendaknya. Persaingan yang tidak sehat antar budaya dan ras, memaksakan kebenaran, saling merasa paling unggul.
Solusi dari lemahnya permasalah di atas adalah dengan pendidikan multikultural.  Pendidikan multikultural (multicultural education) merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Pendidikan multikultural mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnic, ras, budaya, strata sosial dan agama.  Dengan adanya pendidikan multikultural diharapkan dapat menciptakan struktur dan kultur yang setiap kelompok budaya bisa melakukan ekspresi budayanya secara nyaman dan harmonis, tanpa implikasi konflik.

B.       Saran
Untuk memperkecil kemungkinan terjadinya dampak negatif dari lemahnya pemahaman kesadaran multikulturalisme seperti pertikaian, konflik, terkadang pengejekan yang berbau SARA, dan lain-lain sebaiknya pemerintah mencanangkan program pendidikan multikultural di dalam kurikulum, khususnya pada kurikulum Sekolah Menengah. 
Selain itu, sikap saling menghargai, toleransi, gotong royong dan tolong menolong harus ditingkatkan agar terjadi keharmonisan dan ketentraman dalam kehidupan bermasyarakat.  Sehingga, interaksi sosial dan pengenalan norma sosial berjalan dengan lancar, yang tentu saja akan berimbas pada kelancaran proses sosialisasi di dalam kampus.


















Daftar Pustaka


Drs. H. Khairudin, H.SS, Sosiologi Keluarga, Yogyakarta:Liberty Yogyakarta, 2008



http:// google.com/Rani-Setiani-Sujana/Masyarakat,-norma-sosial-dan hukum-serta-multikulturalisme-di-Indonesia


Tidak ada komentar:

Posting Komentar