MAKALAH
MATA
KULIAH SOSIOLOGI
PENGARUH
MULITIKULTURALISME
TERHADAP
PROSES SOSIALISAI DI KAMPUS
Guna
Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sosiologi
Dosen Pengampu:
Wasiti, M.Si
Disusun
Oleh:
Nunung Khusnul Khotimah (10402241001)
PROGRAM
STUDI
PENDIDIKAN
ADMINISTRASI PERKANTORAN
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN EKONOMI
UNIVERSITAS
NEGERI YOGYAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Bangsa
Indonesia dikatergorikan bangsa yang pluralis karena tersusun dari
keanekaragaman suku, agama, ras, adat istiadat, bahasa dan lain-lain.
Singkatnya, tersusun dari keragaman budaya atau multikultur. Dengan kata lain,
bangsa Indonesia merupakan bangsa yang masyarakatnya sangat majemuk atau pluralis.
Kemajemukan bangsa Indonesia dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu
horizontal dan vertical.
Dalam
perspektif horizontal, kemajemukan bangsa kita dapat dilihat dari perbedaan
agama, etnis, bahasa daerah, dan budayanya. Dalam perspektif vertikal, kemajemukan
bangsa dapat dilihat dari perbedaan tingkat pendidikan, ekonomi, pekerjaan dan
tingkat sosial budaya. Tak heran,
apabila di Indonesia kerap terjadi konflik yang disebabkan oleh kemajemukan
penduduknya. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi proses sosialisasi dan
norma yang berlaku dalam masyarakat atau kelompok tertentu, sesuai dengan
kultur dari masing-masing masyarakat.
Civitas
akademika di universitas, yang notabene merupakan lembaga pendidikan terdiri
dari berbagai macam latar belakang budaya. Civitas akademika tersebut tentu
saja melakukan interaksi sosial, yang didorong dari dirinya sendiri secara
alamiah, yaitu dorongan untuk memenuhi kebutuhan, mempertahankan hidup dan
melakukan komunikasi dengan sesama. Dari
proses interaksi sosial, khususnya pada mahasiswa, maka secara otomatis akan
terjadi relasi sosial yang akan mempengaruhi sosialisasi nilai, norma yang akan
memperngarui kepribadian mahasiswa. Selain
itu, sosialisasi bertujuan pula untuk membangun kapasitas manusia agar
berfungsi sebagai individu maupun anggota dalam kelompoknya. Proses sosialisasi
pun dipengaruhi oleh norma yang berlaku di dalam kampus, baik tertulis maupun
tidak tertulis, sehingga mahasiswa memiliki aturan atau patokan dalam
bertingkah laku.
Tak
dapat dipungkiri, terkadang proses interaksi dan relasi sosial di dalam kampus
tidak berjalan dengan mulus, dengan kata lain membawa dampak negatif bagi
mahasiswa tersebut. Namun, di sisi lain,
tak sedikit pula yang mengarah pada dampak positif. Untuk pemahaman yang lebih mendalam, pada
makalah ini akan dilakukan pengkajian lebih dalam mengenai proses sosialisasi
terhahap nilai-nilai multikulturalisme pada mahasiswa di kampus.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa itu interaksi sosial, norma sosial dan
sosialisasi dan hal-hal yang berkaitan dengan ke tiga kosa kata tersebut?
2.
Apakah multikulturalme para civitas akademika di
Universitas mempengaruhi proses sosialisasi?
3.
Apa saja dampak dari lemahnya pemahaman
kesadaran multikulturalisme di kampus?
4.
Apa solusi dari dampak lemahnya pemahaman kesadaran
multikulturalisme di kampus?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui definisi dan hal-hal yang berkaitan
dengan interaksi sosial, norma sosial dan sosialisasi
2.
Mengetahui adakah pengaruh multikulturalisme
para civitas akademika di kampus dalam
proses sosialisasi
3.
Memahami dampak dari lemahnya pemahaman
kesadaran multikulturalisme di kampus
5.
Mengetahui solusi dari dampak lemahnya pemahaman
kesadaran multikulturalisme di kampus
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Interaksi
Sosial, Norma Sosial dan Sosialisasi
Berikut ini, definisi dan
hal-hal yang berkaitan dengan interaksi sosial, norma sosial, dan sosialisasi:
1.
Interaksi
Sosial
Interaksi
sosial adalah hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan
perorangan, antara kelompok dengan kelompok lain, dan antara kelompok manusia
dengan individu. Interaksi sosial
terbentuk oleh faktor – faktor berikut ini :
a. Tindakan Sosial
Max Weber mendefinisikan bahwa tindakan sosial adalah
tindakan seorang individu yang dapat mempengaruhi individu-individu lainnya
dalam masyarakat. Tindakan sosial dapat
dibedakan menjadi 4 macam yaitu :
1)
Tindakan Rasional Instrumental : tindakan yang dilakukan
dengan memperhitungkan kesesuaian antara cara dan tujuan.
2)
Tindakan Rasional Berorientasi nilai : Tindakan-tindakan yang
berkaitan dengan nilai – nilai dasar dalam masyarakat.
3)
Tindakan Tradisional: tindakan yang tidak
memperhitungkan pertimbangan Rasional.
4)
Tindakan Ofektif : tindakan-tindakan yang dilakukan oleh
seorang atau kelompok orang berdasarkan perasaan atau emosi (Muh. Doddy, 2010:330).
b. Kontak Sosial
Dalam
kehidupan sehari-hari kontak sosial dapat dilakukan dengan cara pihak – pihak
yang berkomunikasi . Cara kontak sosial itu ada 2 macam yaitu :
1)
Kontak Langsung: Pihak komunikator menyampaikan pesannya
secara langsung kepada pihak komunikan .
2)
Kontak Tidak Langsung: Pihak komunikator menyampaikan
pesannya kepada pihak komunikan melalui perantara pihak ketiga .
Kontak
Sosial yang dilakukan menurut terjadinya proses komunikasi, ada dua yaitu (1)
Kontak Primer dan (2) Kontak Sekunder.
c. Komunikasi Sosial
Komunikasi artinya berhubungan atau
bergaul dengan orang lain. Orang yang menyampaikan komunikasi disebut
komunikator, orang yang menerima komunikasi disebut komunikan. Komunikasi
sosial ditekankan pada bagaimana pesannya diproses.
Bentuk – Bentuk interaksi yang mendorong terjadinya lembaga
, kelompok dan organisasi sosial:
a.
Bentuk interaksi sosial menurut jumlah pelakunya .
1)
Interaksi antara individu dan individu
2)
Interaksi antara individu dan kelompok
3)
Interaksi antara Kelompok dan Kelompok
b.
Bentuk interaksi sosial menurut proses terjadinya
1)
Imitasi
Imitasi
adalah pembentukan nilai melalui dengan meniru cara- cara orang lain.
2)
Identifikasi
Identifikasi
adalah menirukan dirinya menjadi sama dengan orang yang ditirunya.
3)
Sugesti
Rangsangan
atau pengaruh atau stiulus yang diberikan seorang individu ekapada individu
lain sedemikian rupa, sehingga orang yang diberi sugesti menuruti atau
melaksanakan tanpa pikir panjang.
4)
Motivasi
Motivasi merupakan dorongan, rangsangan atau sitmulus yang
idberikan seseorang kepada individu lain sehingga orang yang diberi motivasi
menuruti atau melaksanakan secara kritis, rasional dan penuh tanggung jawab.
5)
Simpati
Kecapakan untuk merasa diri seolah-olah dalam keadaan orang
lain dan ikut meraasakan apa yang dialami atau diderita orang lain.
6)
Empati
Merupakan kelanjutan dari simpati yang berupa perbuatan
nyata untuk mewujudkan rasa simpatinya. Empati
itu dibarengi perasaan organisme tubuh yang sangat dalam. (Yuniasri Sadewi H., 2007:3)
2.
Norma
Sosial
Norma sosial adalah kebiasaan umun yang
menjadi patokan perilaku dalam suatu kelompok masyarakat dan batasan wilayah
tertentu. Norma akan berkembang seiring dengan kesepakatan-kesepakatan sosial
masyarakatnya, sering juga disebut dengan peraturan sosial. Keberadaan norma
sosial dalam masyarakat bersifat memaksa individu atau suatu kelompok agar
bertindak sesuai dengan aturan sosial yang telah terbentuk. Pada dasarnya,
norma disusun agar hubungan di antara manusia dalam masyarakat dapat
berlangsung tertib sebagaimana yang diharapkan. Norma merupakan hasil buatan
manusia sebagai makhluk sosial. Pada awalnya, aturan ini dibentuk secara tidak
sengaja. Lama-kelamaan norma-norma itu disusun atau dibentuk secara sadar.
Tingkatan norma sosial dalam masyarakat adalah sebagai berikut :
a.
Cara
Cara adalah suatu bentuk
perbuatan tertentu yang dilakukan individu dalam suatu masyarakat tetapi tidak
secara terus-menerus.
b.
Kebiasaan
Kebiasaan merupakan suatu
bentuk perbuatan berulang-ulang dengan bentuk yang sama yang dilakukan secara
sadar dan mempunyai tujuan-tujuan jelas dan dianggap baik dan benar.
c.
Tata kelakuan
Tata kelakuan adalah
sekumpulan perbuatan yang mencerminkan sifat-sifat hidup dari sekelompok
manusia yang dilakukan secara sadar guna melaksanakan pengawasan oleh
sekelompok masyarakat terhadap anggota-anggotanya.
d.
Adat istiadat
1) Adat
istiadat adalah kumpulan tata kelakuan yang paling tinggi kedudukannya karena bersifat
kekal dan terintegrasi sangat kuat terhadap masyarakan yang memilikinya. (Muh. Doddy, 2010:330).
Macam-macam norma sosial antara lain adalah
:
a.
Norma agama
b.
Norma kesusilaan
c.
Norma kesopanan
d.
Norma kebiasaan
e.
Norma hukum
3.
Sosialisasi
Definisi
sosialisasi oleh Charlotte Buhler yaitu proses yang membantu individu-individu
belajar dan menyesuaikan diri, bagaimana cara hidup, dan berpikir kelompoknya
agar ia dapat berperan dan berfungsi dengan kelompoknya.
Tahap-tahap
sosialisasi menurut George Herbert Mead:
a.
Preparatory Stage
(Tahap Persiapan)
Anak mulai melakukan kegiatan
meniru tetapi tidak sempurna
b.
Play Stage (Tahap
Meniru)
Anak semakin sempurna menirukan
peran orang dewasa
c.
Tahap Game Stage (Tahap Siap Bertindak)
Mulai memahami norma secara
bertahap
d.
Tahap Generalized Other
(Tahap Menerima Norma Kolektif)
Seseorang sudah dianggap dewasa dan
harus menerima norma yang berlaku .
Agen-agen Sosialisasi
Agen
sosialisasi adalah pihak-pihak yang melaksanakan sosialisasi. Dapat juga
disebut sebagai media sosialisasi. Jacobs
dan Fuller, mengidentifikasi empat agen utama sosialisasi, yaitu:
a.
Keluarga
b.
Kelompok pertemanan
sebagai
c.
Sistem/lingkungan
pendidikan
d.
Sistem/lingkungan kerja
e.
Media massa
Faktor-faktor yang mempengaruhi sosialisasi adalah sebagai berikut:
a.
Kematangan fisik
seseorang
b.
Lingkungan atau sarana
sosialisasi
c.
Keinginan yang kuat
B.
Pengaruh
Multikulturalisme di Dalam Kampus Terhadap Proses Sosialisasi
Multikulturalisme
adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan seseorang tentang
ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang
penerimaan terhadap realitas keragaman, dan berbagai macam budaya
(multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai,
sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut. multikultural juga
sering digunakan untuk menggambarkan kesatuan berbagai etnis masyarakat yang
berbeda dalam suatu negara. Konsep multikulturalisme menurut Taylor adalah
gagasan mengatur keberagaman dengan prinsip dasar pengakuan akan keberagaman
itu sendiri (politics of recognition).
Multikulturalisme berasal dari dua kata; multi (banyak, beragam) dan cultural (budaya atau kebudayaan), yang
secara etimologi berarti keberagaman budaya. Budaya yang mesti dipahami, adalah
bukan budaya dalam arti sempit, namun semua semua dialektika manusia terhadap
kehidupannya. Dialektika ini akan melahirkan banyak wajah, seperti sejarah,
pemikiran, budaya verbal, bahasa dan lain-lain.
Multikulturalisme berakar dari
individualistik, liberal, yang memahami perbedaan kultur, memahami perbedaan
atau kekayaan perbedaan agama, politik, ideologi, dan lain-lain, hanya sebatas
memahami untuk tidak timbulnya benturan akibat perbedaan-perbedaan tersebut
(pasif-liberalis) sehingga konsep Multikuturasisme ini harus diikuti dengan
konsep Pluralisme yang memahami adanya perbedaan-perbedaan untuk kemudian
pemahaman itu ditingkatkan menjadi toleransi dan tolong menolong, gotong-royong,
dan saling menghormati antar umat beragama.
Berkaitan dengan
pendidikan, multikulturalisme bermakna sebagai “pendidikan tentang keragaman
kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan
masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan”. (http://warnadunia.com/).
Dalam
hal ini pendidikan saling tumpang-tindih dengan kehidupan sosial. Sebagaimana
pendapat Paulo Freire, bahwa pendidikan bukan merupakan “menara gading” yang
berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus
mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan
sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagi akibat
kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya. (http://warnadunia.com/)
Proses sosialisasi di dalam kampus yang multikultural, tentu
saja akan berpengaruh terhadap kepribadian dari mahasiswa tersebut. Hal ini dikarenakan proses interaksi sosial
yang dilakukan mahasiswa dengan orang-orang yang satu sama lain memiliki kultur
dan adat istiadat yang berbeda. Tak hanya itu, mahasiswa pun harus beradaptasi
dengan norma sosial yang berlaku di dalam kampus.
Secara sederhana, proses
sosialisasi ini akan terlihat nyata apabila dilihat dari segi fisik. Contohnya:
Mahasiswa akan berpakaian mengikuti
aturan yang berlaku di dalam kampus.
Apabila tata tertib di dalam kampus menyatakan bahwa tidak boleh memakai
kaos dalam mengikuti perkuliahan, maka mau tidak mau, mahasiswa harus mengikuti
peraturan tersebut.
Selain itu,
multikulturalisme juga mempengaruhi mahasiswa dari segi bahasa. Bahasa merupakan unsur penting dalam
kehidupan, serta sebagai alat untuk berkomunikasi. Apabila mahasiswa tidak
berkomunikasi dengan baik, tentu saja hal ini akan menghambat proses
sosialisasi. Tidak hanya itu, hambatan
dalam komunikasi pun akan menjadikan mahasiswa terasing atau mengasingkan diri
dari lingkungannya. Sisi negatif lainya
adalah timbulnya konflik dikarenakan kesalahpahaman dalam penggunaan
bahasa.
Dengan adanya proses interaksi sosial antar kultur, maka secara
tidak langsung terjadi proses pengenalan kultur masing-masing. Sehingga
mahasiswa dapat mengetahui ciri-ciri atau adat dari masing-masing
kultur. Dengan adanya pemahaman dan
pengenalan ini, maka akan dapat memperkecil kemungkinan untuk terjadinya
konflik antar mahasiswa.
Kebiasaan yang ada di dalam
kampus di suatu daerah tertentu, juga akan berpengaruh pada kepribadiaan dari
mahasiswa dari daerah lain. Hal ini
dikarenakan mahasiswa akan beradaptasi dengan kebiasaan di mana dia tinggal dan
sejenak meninggalkan kebiasaan di daerah asalnya.
Selain kebiasaan, cara
pandang dari mahasiswa pun akan terpengaruh di dalam proses sosialisasi. Bagaimana mayoritas civitas akademika dalam
kampus tersebut menilai suatu perkara, maka secara perlahan akan merubah cara
pandang minoritas civitas akademika.
C.
Dampak
Lemahnya Pemahaman Kesadaran Multikulturalisme di Dalam Kampus
Telah
diketahui bahwa di dalam sebuah universitas, civitas akademika terdiri atas beragam ras, suku, etnis, agama,
budaya, keyakinan, pilihan hidup, termasuk orientasi seksual. gagasan umum
keberagamaan ras, yang hidup dalam harmoni pluralistik, yang melihat
keberagamaan sebagai pluralitas identitas dan kondisi eksistensi manusia.
Identitas dipandang sebagai produk adat istiadat, praktik, dan makna yang
merupakan warisan dan ciri pembawaan serta pengalaman bersama.
Blue Mink mengatakan bahwa identitas
dibentuk oleh relasi-relasi kekuasaan. Identitas etnik sebagian besar adalah
imajinasi sosial yang memilah beragam kelompok budaya ke dalam suatu komunitas
dengan mengikat mereka bersama dalam narasi sastra dan visual yang ditempatkan
dalam teritori sejarah dan memori. Sehingga dalam rangka membangun
demokratisasi lokal dan pemberdayaan kaum minoritas agama dan kebudayaan lokal
ini, kita harus menyertakan multikulturalisme.
Tetapi pada kenyataannya di dalam
lingkungan universitas dampak negatif terhadap lemahnya pemahaman kesadaran
multikulturalisme di dunia kampus terkadang menyebabkan konflik mahasiswa seperti
pertikaian, konflik, pengejekan yang berbau SARA, dan lain-lain.
Kelompok-kelompok minoritas juga selalu
dipinggirkan, disingkirkan baik secara ekonomi, politik, sosial, maupun budaya.
Bahkan tidak hanya itu, secara historis, sejarah mereka pun tersisihkan. Mereka
umumnya berada pada “margin history” yang berfungsi sebagai “pelengkap
penderita” sejarah mainstream kelompok utama. Dalam banyak hal, kekuasaan
politik yang biasanya hanya memenuhi keinginan kelompok mayoritas memiliki
peran sentral dalam melakukan proses peminggiran terhadap “komunitas splinter
ini.
Kelompok-kelompok mayoritas menindas
kelompok minoritas, untuk memaksakan kehendaknya. Persaingan yang tidak sehat
antar budaya dan ras, memaksakan kebenaran, saling merasa paling unggul
sehingga ada benarnya apa yang dikatakan Rorty bahwa Spesies manusia akan mati
tercekik karena dengan klaim-klaim “universal” kebudayaan dan peradaban lokal
yang saling menerkam.
Multi kekerasan atau spiral kekerasan
dalam bentuk apapun pada suatu entitas sebenarnya tidak perlu terjadi bila mana
ada kesadaran dan tumbuh pemahaman yang konprehensif terhadap nilai-nilai
universal multikulturalisme, yakni sebuah penghargaan terhadap keragaman
kultural yang ada pada entitas-entitas masyarakat atau komunitas seperti di
komunitas kampus.
Maka dari itu harus dilakukan upaya
merajut kembali hubungan antarmanusia yang belakangan selalu hidup dalam
suasana penuh dengan konfliktual. Harus ada sebuah kesadaran masif yang muncul
bahwa diperlukan kepekaan terhadap kenyataan kemajemukan, pluralitas bangsa,
baik dalam etnis, agama, budaya, hingga orientasi politik. Sehingga akan
terbangun suatu sistem tata nilai kehidupan yang menjunjung tinggi toleransi,
kerukunan dan perdamaian bukan konflik atau kekerasan meskipun terdapat
perbedaan sistem sosial di dalamnya, yaitu pemahaman tentang Multikulturasisme
yang belum dipahami dengan benar dan menyeluruh.
D.
Solusi
Lemahnya Pemahaman Kesadaran Multikulturalisme di Dalam Kampus
Merupakan kenyataan yang tak bisa ditolak
bahwa negara-bangsa Indonesia terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya,
agama dan lain-lain sehingga negara-bangsa Indonesia secara sederhana dapat
disebut sebagai masyarakat “multikultural”. Tetapi pada pihak lain, realitas
“multikultural” tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk
merekonstruksi kembali “kebudayaan nasional Indonesia” yang dapat menjadi
“integrating force” yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya tersebut.
Perbedaan budaya merupakan sebuah konduksi
dalam hubungan interpersonal. Sebagai contoh ada yang orang yang bila diajak
bicara (pendengar) dalam mengungkapkan perhatiannya cukup dengan
mengangguk-anggukan kepala sambil berkata “uh. huh”. Namun dalam kelompok lain
untuk menyatakan persetujuan cukup dengan mengedipkan kedua matanya. Dalam
beberapa budaya, individu-individu yang berstatus tinggi biasanya yang
memprakarsai, sementara individu yang statusnya rendah hanya menerima saja
sementra dalam budaya lain justru sebaliknya.
Beberapa psikolog menyatakan bahwa budaya
menunjukkan tingkat intelegensi masyarakat. Berpikir bahwa toleransi tidak
hanya diperuntukkan untuk kepentingan bersama akan tetapi juga menghargai
kepercayaan dan berinteraksi dengan anggota masyarakat.
Pendidikan multikultural (multicultural education) merupakan respon
terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan
persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan
multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk
memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap
orang-orang non Eropa (Hilliard, 1991-1992). Sedangkan secara luas pendidikan
multikultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya
seperti gender, etnic, ras, budaya, strata sosial dan agama.
Pendidikan
multikultural diharapkan dapat menciptakan struktur dan kultur yang setiap
kelompok budaya bisa melakukan ekspresi budayanya secara nyaman dan harmonis,
tanpa implikasi konflik. Keragaman budaya bangsa Indonesia adalah sebuah
kenyataan yang harus diterima, tanpa ruang tawar-menawar. Karena kenyataan tak
tertolak, maka harus diterima, dijaga, dipelihara, dan dikelola agar
mendatangkan kebaikan dan keuntungan. Lingkungan pendidikan harus dirancang
untuk menciptaka suatu kehidupan yang menerima perbedaan, bisa hidup bersama
secara harmonis, saling menghormati dan menghargai perbedaan. Ini adalah tujuan
ideal pendidikan multicultural.
Selanjutnya James Banks (1994) menjelaskan
bahwa pendidikan multikultural memiliki lima dimensi yang saling berkaitan :
1.
Content Integration
Mengintegrasikan berbagai budaya dan
kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam
mata pelajaran/disiplin ilmu
2.
The Knowledge Construction Process
Membawa siswa untuk memahami implikasi
budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin).
3.
An Equity Paedagogy
Menyesuaikan metode pengajaran dengan cara
belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam
baik dari segi ras, budaya ataupun social.
4.
Prejudice Reduction
Mengidentifikasi karakteristik ras siswa
dan menentukan metode pengajaran mereka.
5.
Melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan
olahraga, berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis dan
ras dalam upaya menciptakan budaya akademik.
Ada beberapa pendekatan dalam proses
pendidikan multikultural, yaitu :
1.
Tidak lagi terbatas pada menyamakan pandangan
pendidikan (education) dengan persekolahan (schooling) atan pendidikan
multikultural dengan program-program sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai
pendidikan sebagai transmisi kebudayaan membebaskan pendidik dari asumsi bahwa
tanggung jawab primer menegmbangkan kompetensi kebudayaan di kalangan anak
didik semata-mata berada di tangan mereka dan justru semakin banyak pihak yang
bertanggung jawab karena program-program sekolah seharusnya terkait dengan
pembelajaran informal di luar sekolah.
2.
Menghindari
pandangan yang menyamakan kebudayaan kebudayaan dengan kelompok etnik adalah
sama. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan
kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. secra tradisional,
para pendidik mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan kelompok-kelompok sosial
yang relatif self sufficient, ketimbang dengan sejumlah orang yang secara terus
menerus dan berulang-ulang terlibat satu sama lain dalam satu atau lebih
kegiatan. Dalam konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan
dapat mengilhami para penyusun program-program pendidikan multikultural untuk
melenyapkan kecenderungan memandang anak didik secara stereotip menurut
identitas etnik mereka dan akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih
besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai
kelompok etnik.
3.
Karena
pengembangan kompetensi dalam suatu “kebudayaan baru” biasanya membutuhkan
interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, bahkan
dapat dilihat lebih jelas bahwa uapaya-upaya untuk mendukung sekolah-sekolah
yang terpisah secara etnik adalah antitesis terhadap tujuan pendidikan
multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidarits kelompok adalah
menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi pluralisme
budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan secara logis.
4.
Pendidikan
multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan
mana yang akan diadopsi ditentukan oleh situasi.
5.
Kemungkinan bahwa pendidikan bahwa pendidikan (baik
dalam maupun luar sekolah) meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam
beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan kita dari
konsep dwi budaya atau dikhotomi antara pribumi dan non-pribumi. Dikotomi
semacam ini bersifat membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan
diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan
multikulturalisme sebagai pengalaman normal manusia.
Kesadaran ini mengandung makna bahwa
pendidikan multikultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan
mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada
pada diri anak didik.
Dalam konteks keindonesiaan dan
kebhinekaan, kelima pendekatan tersebut haruslah diselaraskan dengan kondisi
masyarakat Indonesia. Masyarakat adalah kumpulan manusia atau individu-individu
yang terjewantahkan dalam kelompok sosial dengan suatu tantangan budaya atau
tradisi tertentu. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Zakiah Darajat yang
menyatakan, bahwa masyarakat secara sederhana diartikan sebagai kumpulan
individu dan kelompok yang diikat oleh kesatuan negara, kubudayaan dan agama.
Jadi dapat dipahami inti masyarakat adalah
kumpulan besar individu yang hidup dan bekerja sama dalam masa relatif lama,
sehingga individu-individu dapat memenuhi kebutuhan mereka dan menyerap watak
sosial. Kondisi itu selanjutnya membuat sebagian mereka menjadi komunitas
terorganisir yang berpikir tentang dirinya dan membedakan ekstensinya dari
ekstensi komunitas. Dari sisi lain, apabila kehidupan di dalam masyarakat
berarti interaksi antara individu dan lingkungan sosialnya. Maka yang
menjadikan pembentukan individu tersebut adalah pendidikan atau dengan istilah
lain masyarakat pendidik.
Untuk itu, setiap warga kampus memiliki
peranan dan tanggung jawab moral terhadap terlaksananya proses pendidikan. Hal
ini disebabkan adanya hubungan timbal balik antara masyarakat dan pendidikan.
Dalam upaya memberdayakan masyarakat dalam dunia pendidikan merupakan satu hal
penting untuk kemajuan pendidikan.(http://id.wikipedia.com)
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Interaksi sosial adalah hubungan-hubungan sosial yang
dinamis yang menyangkut hubungan perorangan, antara kelompok dengan kelompok
lain, dan antara kelompok manusia dengan individu. Norma sosial adalah kebiasaan umun yang
menjadi patokan perilaku dalam suatu kelompok masyarakat dan batasan wilayah
tertentu. Definisi
sosialisasi menurut Charlotte Buhler yaitu proses yang membantu
individu-individu belajar dan menyesuaikan diri, bagaimana cara hidup, dan
berpikir kelompoknya agar ia dapat berperan dan berfungsi dengan kelompoknya.
Konsep multikulturalisme menurut Taylor
adalah gagasan mengatur keberagaman dengan prinsip dasar pengakuan akan
keberagaman itu sendiri (politics of
recognition).
Proses sosialisasi di dalam
kampus yang multikultural, tentu saja akan berpengaruh terhadap kepribadian
dari mahasiswa tersebut. Hal ini
dikarenakan proses interaksi sosial yang dilakukan mahasiswa dengan orang-orang
yang satu sama lain memiliki kultur dan adat istiadat yang berbeda. Tak hanya itu,
mahasiswa pun harus beradaptasi dengan norma sosial yang berlaku di dalam
kampus. Hal-hal yang terpengaruh antara
lain, cara berpakaian, bahasa yang digunakan, pemahaman dan adaptasi dengan
kultur lain, kebiasaan dan cara pandang terhadap suatu perkara.
Dampak negatif terhadap lemahnya pemahaman
kesadaran multikulturalisme dunia civitas
akademika di dalam kampus antara lain: menyebabkan konflik mahasiswa seperti
pertikaian, konflik, terkadang pengejekan yang berbau SARA, dan lain-lain. Kelompok-kelompok minoritas juga selalu
dipinggirkan, disingkirkan baik secara ekonomi, politik, sosial, maupun budaya.
Bahkan tidak hanya itu, secara historis, sejarah mereka pun tersisihkan. Kelompok-kelompok mayoritas menindas kelompok
minoritas, untuk memaksakan kehendaknya. Persaingan yang tidak sehat antar
budaya dan ras, memaksakan kebenaran, saling merasa paling unggul.
Solusi dari lemahnya permasalah di atas
adalah dengan pendidikan multikultural. Pendidikan
multikultural (multicultural education)
merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana
tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Pendidikan multikultural mencakup
seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnic, ras,
budaya, strata sosial dan agama. Dengan
adanya pendidikan multikultural
diharapkan dapat menciptakan struktur dan kultur yang setiap kelompok budaya
bisa melakukan ekspresi budayanya secara nyaman dan harmonis, tanpa implikasi
konflik.
B.
Saran
Untuk
memperkecil kemungkinan terjadinya dampak negatif dari lemahnya pemahaman
kesadaran multikulturalisme seperti pertikaian, konflik, terkadang pengejekan
yang berbau SARA, dan lain-lain sebaiknya pemerintah mencanangkan program
pendidikan multikultural di dalam kurikulum, khususnya pada kurikulum Sekolah
Menengah.
Selain
itu, sikap saling menghargai, toleransi, gotong royong dan tolong menolong
harus ditingkatkan agar terjadi keharmonisan dan ketentraman dalam kehidupan
bermasyarakat. Sehingga, interaksi
sosial dan pengenalan norma sosial berjalan dengan lancar, yang tentu saja akan
berimbas pada kelancaran proses sosialisasi di dalam kampus.
Daftar
Pustaka
Drs.
H. Khairudin, H.SS, Sosiologi Keluarga, Yogyakarta:Liberty Yogyakarta, 2008
http:// google.com/Rani-Setiani-Sujana/Masyarakat,-norma-sosial-dan
hukum-serta-multikulturalisme-di-Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar